Riwayat
Sang Maestro Pencipta Tari Pendet
I Wayan Rindi (1917-1976)
Menekuni dunia kesenian terutama
seni tari adalah hal yang paling menyenangkan bagi I Wayan Rindi. Ia dikenal
luas oleh masyarakat Bali sebagai penari; banyak ragam tari yang ia perankan di
masanya, seperti tari Legong dan tari Kebyar Duduk. Selain untuk ekspresi
dirinya secara pribadi sebagai penikmat tari, bagi Rindi, kesenian juga mesti
diwariskan dan menjadi khazanah milik setiap generasi. Supaya setiap orang dapat
menikmati berbagai kearifan lokalnya yang kaya akan budaya. Tak urung, demi
melestarikan satu macam bentuk kesenian, sekecil apa pun kesenian itu; ia gigih
mengajarkan segenap apa yang dimilikinya kepada generasi muda di Bali.
Perkenalan Rindi dengan seni sudah
dimulai sejak usianya masih dini. Kala itu, sejak masih kanak-kanak, seniman
kelahiran Banjar Lebah Denpasar tahun 1917 ini, dipungut oleh seorang petani
dan dibawa ke Banjar Tegal Linggah. Sayang, tidak satu sumber pun yang
menerangkan siapa petani yang memungutnya itu. Di daerah ini, oleh sang petani
yang memungutnya, Rindi dikenalkan dengan para empu tari ternama. Sebut saja
mereka adalah I Wayan Lotering dari Kuta; I Nyoman Kaler dari Pemogan; serta
penabuh I Regog dari Ketapian. Selain itu, selama dalam masa belajar, Rindi
berada di bawah pengawasan dan disiplin ketat dari sang Kakak Made Netra. Masa
itulah yang menjadi batu loncatan awal bagi Rindi menyelami dunia seni,
khususnya seni tari.
Satu hal yang menjadi kelebihan,
adalah dari beberapa guru tari yang berbeda; Rindi mendapatkan kombinasi
energi-energi seni tari yang begitu kaya. Tak heran jika ia tumbuh menjadi
seniman tari yang utuh; kekurangan dari guru yang satu, dilengkapi oleh ilmu
dari guru lainnya. Artinya, boleh dikata, ia menguasai teknik tari berenergi
taksu, sekaligus pula menubuhkan citarasa intuisi yang selalu berkembang maju.
Sehingga, pada tahun 1930, masyarakat Badung tiba-tiba dikagetkan oleh
kehadiran tari Gandrung Lawangan; yang tiada lain tarian tersebut diperankan oleh
remaja Rindi. Masyarakat berhak kaget, sebab kala itu, sedikit sekali anak usia
belasan tahun sudah memiliki pesona gerak-gerik tari begitu kaya nan elok dalam
pandangan penonton.
Lambat tapi pasti, dari penampilan
awalnya itu, popularitas Rindi merangkak naik; hampir seluruh pecinta seni tari
di daerannya mengenal Rindi remaja ini. Berbagai undangan ia hadiri dengan
menyuguhkan berbagai keahlian bertari yang berbeda.
Seiring berjalannya waktu, Rindi
tumbuh dewasa secara usia dan matang dalam hal pikiran dan visi berkesenian.
Sehingga, kehadirannya selalu ditunggu oleh segenap masyarakat pencinta seni
–khususnya seni tari—di Bali. Sejak itu, ia mulai menapaki ruang-ruang
antusiasme masyarakat akan kegandrungan pada keindahan tari dan tabuh Bali yang
berenergi.
Saking pentingnya peran Rindi di
tengah-tengah massa penari, masyarakat mendaulatnya untuk membiakkan kharisma
seni tari pada berbagai lapis masyarakat. Mau tidak mau, karena sudah didaulat,
Rindi pun menjadi guru bagi seniman-seniman seni pertunjukkan muda Bali. Kini,
seni pertunjukkan itu dikenal dengan nama melenggang. Tak urung, Rindi pun
berhasil melahirkan penari-penari terkemuka yang dipercaya dapat meneruskan
kariernya itu. Beberapa di antara penari itu adalah Ni Ketut Alit Arini, I
Ketut Rina, dan banyak lagi murid-murid lainnya. Sudah barang tentu keempat
anaknya yang teraliri darah Rindi: Luh Merti, Made Netra, Nyoman Suyasa, dan
Ketut Sutapa.
Melalui perannya sebagai guru, Rindi
melakukan transfer pengetahuan terhadap murid-muridnya secara tegas dan dikenal
cukup keras. Menurut pandangan Rindi, syarat penting yang mesti ditekankan
sejak awal bagi para calon seniman; adalah mengasah ketajaman dalam menjiwai
rasa tubuh. Sementara tekhnisnya, ia menjalankan beberapa fase yang dikenal
dengan istilah ngagem, ngelung, ngelayak, nyregseg, dari tarian legong maupun
kebyar duduk ditimbang penuh perasaan.
Peranan Rindi sebagai guru diakui
oleh salah satu muridnya Ni Ketut Arini. Rumah Arini tidak jauh dari kediaman
mendiang Rindi, jaraknya sekitar 40 meter ke arah utara dari rumah Rindi,
tepatnya di Jl. Kecubung Nomor 80. Ni Ketut Arini sendiri, hingga kini masih
memelihara warisan gurunya dengan mendirikan sebuah perguruan tari dengan nama
Sanggar Tari Warini. Nama sanggar ini pun terpampang di hadapan rumah dengan
menggunakan kayu putih. Ratusan anak terdaftar sebagai murid di sanggar ini.
Tidak hanya warga Bali, tapi banyak juga murid yang berasal dari pulau Jawa;
bahkan dari mancanegara. Tercatat, sekarang saja, ada lima orang warga Malaysia
yang ikut belajar menari dan sudah dapat dikatakan mahir dalam peragaan tari.
Tekad Arini dalam mendirikan sanggar
tari, tidak jauh dari alam pikir gurunya; sama-sama berharap supaya kesenian
tari dapat diwariskan dan dinikmati oleh setiap generasi. Kesenian diabadikan
sebagai khazanah kekayaan daerah Bali tersendiri. Setidaknya, jika pada
akhirnya ia tutup usia nanti, khazanah kebudayaan Bali yang salah satunya seni
tari, tidak sampai ikut punah. Seperti ketika meninggalnya Rindi, tari masih
ajeg berdiri di Bali hingga kini.
Dari pengakuan Arini, perjalanan
hidupnya di dunia tari dan apa yang dimilikinya sekarang; tidak terlepas dari
bimbingan I Wayan Rindi. Bahkan, secara ikatan darah, Rindi dan Arini masih
dalam ada satu kekerabatan. Boleh disebut, Rindi adalah paman bagi Arini. Saban
hari di waktu kecil, perempuan kelahiran 15 Maret 1942 ini selalu berada di
rumah pamannya itu; menonton orang berlatih tari pada Rindi. Lama kelamaan,
hati Arini terpincut dan akhirnya memutuskan untuk ikut berlatih tari.
Aktivitasnya ini ia lakoni sejak usia tujuh tahun.
Masih menurut penuturan Arini, pada
suatu ketika, Rindi pernah mengungkapkan keinginannya untuk melahirkan sebuah
tari penyambutan untuk tamu. Dengan ditemani salah satu kawan yang sama-sama
mengajar tari di rumah Rindi yang bernama Ni Ketut Reneng; keduanya memutuskan
untuk membuat satu macam tarian dengan mengambil pakem Tari Pendet Wali sebagai
roh tariannya. Ini, terjadi dalam dasawarsa 50-an. Sementara, jika merujuk pada
Wikipedia, Tari Pendet asal mulanya adalah salah satu bentuk tari pemujaan yang
kerap ditampilkan dalam ritual-ritual persembahyangan umat Hindu Bali.
Meski demikian, baik Rindi maupun
Reneng, sama-sama tidak menghilangkan unsur gerak dan bentuk kostum tari yang
menjadi pakem tari sebelumnya (Tari Pendet Wali). Hanya, mereka memodifikasinya
dan mengubah fungsi tarian menjadi tarian penyambut tamu. Salah satu bentuk
koreografi hasil modifikasi tersebut adalah penambahan adegan pelemparan bunga
ke arah tamu di bagian akhir sebagai wujud penghormatan akan tamu.
Perundingan yang begitu a lot antara
dua orang pelaku tari terkemuka, adalah kesepakatan untuk menamai tarian baru
itu dengan nama Tari Pendet Pujastuti. Kurang lebih mengandung arti sebagai
lambang penyambutan para Dewata yang turun ke alam dunia. Penyambutannya
diperagakan di rumah peribadatan umat Hindu; Pura.
Sementara terma pendet, boleh
disebut sebagai bentuk persembahan dalam bentuk tarian upacara. Pendet dapat
diperankan oleh setiap orang; mulai dari pemangku pria dan wanita, kaum wanita,
sampai gadis desa. Proses pengajarannya pun begitu sederhana, yakni cukup
dengan mengikuti gerakan yang jarang dilakukan secara banjar-banjar. Seumpama
para gadis muda yang cukup mengikuti gerakan para wanita yang lebih senior dan
mengerti tanggung jawab mereka dalam memberikan contoh yang baik.
Lambat-laun, seiring perkembangan
zaman, para seniman Bali mengubah Tari Pendet menjadi tari “ucapan selamat datang”
yang ditujukan terhadap setiap tamu dari mancanegara yang sengaja menikmati
eksotisme Pulau Dewata. Meski demikian, dari generasi ke generasi, para seniman
tidak mengabaikan anasir ke-sakral-an dan religiusitas
tarian yang diubahnya.
Sementara, sebagai ajang promosi
atau langkah sosialisasi, tari ini dipentaskan untuk pertama kali di salah satu
hotel di Bali (sekarang hotel itu bernama Inna Bali Hotel), tepatnya di Jl.
Veteran. Arini muda, murid Rindi –bersama Ada Gusti Putu Sita, Luh Roni dan
Wayan Merti—adalah orang pertama yang memeragakan Tari Pendet guna menyambut
kedatangan wisatawan asing. Bagi Arini dan tiga sahabatnya, ini merupakan
sebuah kehormatan tersendiri. Sebagaimana diungkapkan guru besar Seni Karawitan
ISI Denpasar Prof. Dibia, untuk pertama kali Tari Pendet diperagakan hanya oleh
empat orang penari saja. Yang mana masing-masing penari membawa sangku, kendi,
cawan dan perlengkapan sesajen lainnya.
Dalam perkembangannya, selain untuk
menyambut wisatawan asing, Tari Pendet juga diperagakan setiap persiden
Soekarno beserta wakilnya Hatta berkunjung ke Bali. Upacara penyambutan ini
biasa digelar saat Presiden dan Wakil Presiden ini mulai menginjakkan kakinya
di Bandara Ngurah Rai atau di kantor Gubernur Denpasar, Bali. Berkat sering
ditampilkan di hadapan orang-orang terkemuka, popularitas Tari Pendet ikut
terdongkrak naik. Seiring dengan itu pula, nama Rindi pun kian semerbak hingga
mancanegara dengan gelar “sang maestro pencipta Tari Pendet”.
Modifikasi terhadap Tari Pendet
terjadi lagi pada tahun 1961, yang mana beberapa seniman seperti I Wayan
Beratha mengubah pola jumlah penari yang asalnya empat orang ditambah menjadi
lima orang penari. Tak kurang luar biasa lagi pada tahun 1962, I Wayan Beratha
menyuguhkan Tari Pendet dengan jumlah penari yang tidak sedikit. Bayangkan,
sebanyak 800 orang penari disertakan dalam pagelaran Tari Pendet massal kala
itu. Tarian ini bertepatan dengan momentum dalam rangka memeriahkan upacara
pembukaan Asian Games di Jakarta.
Bagi Rindi, menyaksikan perkembangan
Tari Pendet yang diciptakannya cukup sampai tahun 1976 saja. Pasalnya, pada
tahun itu, ia dipungut oleh sang penguasanya dengan damai; ia meninggal dunia
setelah puluhan bahkan ratusan orang berhasil ia ajarkan makna dan gerakan
tari. Tinggal murid-muridnya dan anak keturunan yang setia memelihara dan
menularkan nilai-nilai seni itu ke setiap generasi.
Sementara, dari sekian lama bergelut
dengan dunia tari, mungkin tidak sepintaspun terbersit dalam alam pikir Rindi
untuk mematenkan buah karyanya itu. Selain dengan alasan belum adanya hak paten
waktu itu, juga karena Tari Pendet mengandung unsur keluasan nilai religius dan
sakral. Sehingga, manusia yang lemah model Rindi; tidak diberi keberanian untuk
mempatenkan Tari Pendet sebagai hasil cipta manusia. Karena, sebagai mana
diungkapkan anak bungsunya Ketut Sutapa, Tari Pendet sudah dianggap sebuah
karya yang begitu luar biasa.
Akhir-akhir ini, jauh hari setelah I
Wayan Rindi dalam kedamaian alamnya, peninggalan kreasinya sedang dalam
gonjang-ganjing rebutan antara Indonesia-Malaysia. Hal ini bermula dari
fenomena pencantuman adegan tari Pendet dalam sebuah iklan Visi Year Malaysia.
Memang, secara eksplisit, Malaysia tidak secara terang menyatakan mengklaim
Tari Pendet sebagai bagian dari kebudayaan bangsanya. Bahkan, mereka menampik
sudah bertindak demikian. Pasalnya, sebagaimana diutarakan oleh Kuasa Usaha
Sementara Duta Besar Malaysia Amran Mohammad Zein, iklan yang menayangkan tarian
menyerupai adegan Tari Pendet tersebut merupakan buah produksi perusahaan
swasta, bukan pemerintah. Jadi, secara institusional, Malaysia mengakui tidak
pernah mengklaim Tari Pendet menjadi bagian kebudayaan bangsanya.
Sayang, luapan amarah warga Bali tak
bisa dielakkan; terutama dari kalangan budayawan dan keturunan Rindi yang tahu
persis sejarah terbentuknya Tari Pendet ini. Pasalnya, telah banyak kasus
persengketaan Malaysia-Indonesia baik di ranah budaya maupun wilayah perbatasan
Negara. Tercatat, selama ini, negeri Jiran itu telah mengklaim dan mematenkan
budaya batik, Tari Reog Ponorogo, musik angklung, lagu Rasa Sayange dari Maluku
dan lagu Es Lilin dari Sunda. Belun lagi masalah perbatasan dan pulau di
wilayah Indonesia yang diakui Malaysia. Adalah wajar jiga rasa khawatir kembali
melanda warga Indonesia. Jangan-jangan, ini merupakan signal awal akan
dipatenkannya kembali satu dari sekian banyak budaya Indonesia.
Memang, tidak ada dalam bayangan
kita apa kira-kira yang dirasakan Rindi; apakah akan murka, sedih, atau malah
gembira karena dengan kejadian ini Tari Pendet kembali dikenal banyak orang.
Meski banyak orang yang beranggapan Ridi akan merasa sedih, kiranya itu hanya
dalam raba-raba manusia. Yang paling terpukul, tentu saja pihak keluarga Rindi
sebagai pewaris kreasi seni sang bapak. Bahkan, Arini yang menjadi pemeran
pertama pagelaran Tari Pendet menyatakan marah terhadap Malaysia. ”Makanya saya
sedih dan marah begitu mendengar Malaysia mengakui Tari Pendet Bali. Saya saksi
hidup, dua tokoh itu (Rindi dan Reneng) membuat Tari Pendet Penyambutan,” tukas
Arini.
Tentu, menghargai dan melindungi
setiap hasil karya anak bangsa adalah kewajiban Negara. Rindi boleh tidak
berniat mempatenkan buah kreativitasnya dalam memodifikasi seni tari. Tapi,
bukan mengandung arti pemerintah berhak untuk hanya berdiam diri; baru bereaksi
manakala ada pihak luar yang mengangkangi. Rindi, kini telah damai di alamnya
sendiri. Sementara Tari Pendet yang menjadi buah kreasinya, siapa pun yang
mempatenkan dan mengakuinya; selamanya akan tetap milik Rindi sebagai lambang
keluasan nilai spiritual dan sakral.
Biodata
Nama
Lengkap
: I Wayan Rindi
Nama
Panggilan : Rindi
Tempat/Tgl.
Lahir : Banjar Lebah, Denpasar, Bali, tahun 1917
Status
Perkawinan : Menikah, Empat anak
Wafat
: tahun 1976
Karier
-
Sejak usia dini telah menjadi penari
-
Guru Seni di Bali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar