Pages

Senin, 23 September 2013

PERAN SIKAP PROFESIONALISME DALAM ORGANISASI || PR GUSTU

Peran Sikap Profesionalisme dalam Organisasi


 

Dalam Kamus Besar Indonesia, profesionalisme mempunyai makna; mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau yang profesional. Profesionalisme merupakan sikap dari seorang profesional. Artinya sebuah term yang menjelaskan bahwa setiap pekerjaan hendaklah dikerjakan oleh seseorang yang mempunyai keahlian dalam bidangnya atau profesinya.Profesionalisme juga mengacu kepada sikap dan komitmen anggota profesi untuk bekerja berdasarkan standar yang tinggi dan kode etik profesinya. Dalam berorganisasi sikap profesionalisme sangat diperlukan karena dalam melakukukan suatu tugas kita dituntut memiliki sikap profesionalisme agar tugas yang kita kerjakan mendapat hasil yang maksimal.

Ciri-ciri profesionalisme:
Punya ketrampilan yang tinggi dalam suatu bidang serta kemahiran dalam menggunakan peralatan tertentu yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas yang bersangkutan dengan bidang tadi.
Punya ilmu dan pengalaman serta kecerdasan dalam menganalisis suatu masalah dan peka di dalam membaca situasi cepat dan tepat serta cermat dalam mengambil keputusan terbaik atas dasar kepekaan.
Punya sikap berorientasi ke depan sehingga punya kemampuan mengantisipasi perkembangan lingkungan yang terbentang di hadapannya.
Punya sikap mandiri berdasarkan keyakinan akan kemampuan pribadi serta terbuka menyimak dan menghargai pendapat orang lain, namun cermat dalam memilih yang terbaik bagi diri dan perkembangan pribadinya.
dalam berorganisasi etika profesionalisme juga sangat diperlukan , antara lain tampilkan rasa percaya diri kamu , yakinlah terhadap kemampuan diri kamu bahwa kamu bisa jangan minder dan usahakan selalu  rendah diri , yakinlah setiap orang pasti memiliki kekurangan dan kelebihan , jadi kita tidak boleh brsombong diri atau merndahkan orang lain , usahakan mampu berkomunikasi dengan diri sendiri yang paling terpenting adalah menjaga kedisiplinan kita seperti datang tepat waktu pada saat ada pengumpulan anggota organisasi , tidak meninggalkan tugas yang telah diberikan oleh ketua karena itu  bukanlah sikap profesional selain itu menggunakan waktu dengan sebaik mungkin sehingga tidak ada waktu yang terbuang sia-sia, etika salam juga  salah satu orang yang memilliki jiwa profesionalisme , contohnya pada saat bertemu teman kita hendaknya memberikan 3s yaitu senyum, salam, sapa . itu akan membuat kita akan dipandang sebagai orang yang mempunyai jiwa profesional dan ramah .
Mampu mengendalikan emosi diri juga harus dapat dilakukan untuk meningkatkan jiwa profesionalisme , selain itu menjaga persaan orang lain agar tidak tersinggung oleh perkataan ataupun perbuatan kita sangat perlu dilakukan toleransi dan rasa ingin membantu harus  tanamkan jiwa saling membantu sesama teman  dan usahakan selalu melaksanakan diskusi yang sehat dalam setiap pengambilan keputusan , jangan pernah merendahkan jabatan teman dalam organisasi karena itu akan menyebabkan konflik internal di dalam organisasi , jika ada teman yang salah dalam mengerjakan sesuatu erikan teguran yang tidak menyinggung perasaan teman kita , sebagai anggota organisasi semua anggota harus dapat menanamkan tanggung jawab yang tinggi dalam organisasi tesebut, dan kita harus bersikap loyal kepada organisasi yang kita ikuti itu , Loyalitas bagi seorang profesional memberikan petunjuk bahwa dalam melakukan pekerjaannya, ia bersikap total. Artinya apapun yang ia kerjakan didasari oleh rasa cinta. Seorang profesional memiliki suatu prinsip hidup, bahwa apa yang dikerjakannya bukan suatu beban, tetapi merupakan panggilan hidup untuk berkarya dan memberikan manfaat bagi orang lain. Maka, tak berlebihan bila mereka bekerja sungguh-sungguh. Loyalitas ini akan memberikan daya dan kekuatan untuk berkembang dan selalu mencari hal-hal yang terbaik bagi pekerjaannya, tanpa menunggu perintah. Dengan adanya loyalitas, ia akan selalu berpikir proaktif, yaitu  selalu melakukan usaha-usaha antisipasi agar hal-hal yang fatal tidak terjadi. Mampu bekerja keras
Seorang profesional akan secara sadar sanggup untuk bekerjaa keras dalam menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya. Ia tetaplah manusia biasa yang mempunyai keterbatasan dan kelemahan. Oleh karena ituia harus mampu menjalin kerja sama dengan berbagai pihak tanpa pandang bulu. Ia akan membuka dirinya lebar-lebar untuk mau menerima siapa saja yang ingin bekerja sama. Ia tidak akan merasa canggung atau turun harga diri bila harus bekerja sama dengan orang-orang yang mungkin secara status lebih rendah darinya. Hal ini bisa dicapai apabila ia mampu mengembangkan dan meluaskan hubungan kerja sama dengan siapa pun, dimana pun, dan kapan pun. Integritas
Nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan keadilan harus benar-benar jadi prinsip dasar bagi seorang yang profesional. Dengan integritas ini seorang profesional akan mempunyai kesadaran diri bahwa dalam melakukan suatu pekerjaan, hati nurani dan suara hati harus tetap menjadi dasar dan arah untuk mewujudkan tujuannya. Maka, tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa seorang profesional tak cukup hanya cerdas dan pintar secara intelektual, tapi juga sisi mental dan emosional. Seorang profesional harus memiliki komitmen tinggi untuk tetap menjaga profesionalitasnya. Artinya, ia tidak akan begitu mudah tergoda oleh bujuk rayu yang akan menghancurkan nilai-nilai profesi. Ia tidak akan mengorbankan idealismenya sebagai seorang yang profesional hanya disebabkan oleh hasutan harta, pangkat dan jabatan. Bahkan bisa bagi dirinya, lebih baik mengorbankan harta, pangkat dan jabatan  asalkan nilai-nilai yang ada dalam profesinya tidak hilang. Untuk membentuk komitmen yang tinggi dibutuhkan konsistensi dalam mempertahankan nilai-nilai profesionalisme. Tanpaadanya konsistensi atau keajekan, seseorang sulit menjadikan dirinya sebagai profesional, karena hanya akan dimainkan oleh perubahan-perubahan yang terjadi.



Rabu, 24 Juli 2013

PERJUANGAN TEUKU UMAR || PR GUSTU


11 Februari 1899 atau 109 tahun lalu, bertepatan bulan Ramadhan, Teuku Umar tersungkur jatuh dihantam peluru Belanda di Suak Ujong Kalak, Meulaboh, saat para pejuang sedang menunaikan sahur, beliau langsung roboh dan syahid dalam usia yang sangat produktif yaitu 45 tahun, seluruh pasukan kacau balau, sebuah takdir dan ketetapan Allah berlaku. Menurut beberapa sumber kematian tersebut disebabkan peluru yang bersarang di dada sebelah kiri dan juga di usus besar.
Jenazah Ampon Meulaboh dibawa lari, ada versi mengatakan pelarian melalui Pucok Lueng, Suak Raya tepatnya di dusun —kemudian diberi nama Dusun Kubah Pahlawan, terus dilarikan ke Rantau Panyang – Pocut Reudep – Pasi Meungat dimana beliau sempat dikuburkan selama 6 bulan disamping sang ibunda dan takut diketahui Belanda kemudian dibongkar lagi dan dibawa ke Gunong Cot Manyang dikuburkan 8 bulan dan terakhir dikebumikan di Meugo (sumber Teuku Tjut Yatim dan Teuku Usman Basyah Asisten I Setdakab Aceh Barat, turunan ketiga dari Teuku Umar).
Di Aceh Barat dan Aceh umumnya, banyak pihak menyakini Teuku Umar langsung syahid di Suak Ujong Kalak dan ini diperkuat oleh penuturan Almarhum Teuku Raja Syahbandar yang ketika masih remaja ikut rombongan Teuku Umar dan kemudian dituturkan kepada Teuku Daud dan HT-Al-Amin Kaan.
Kuburan Teuku Johan Pahlawan mantan Panglima Perang Besar Gubernemen Hindia Belanda baru diketahui langsung tanggal 1 Nopember 1917 atau 18 tahun setelah ia mangkat. Seorang pegawai purbakala Belanda atau Oudheidskunddigendienst, J.J.De Vink melihat kuburan Teuku Umar setelah mendapat izin Teuku Chik Ali Akbar (Uleebalang Kaway XVI) dan Teuku Panyang, Ulee Balang Meugo, dengan syarat kuburan tersebut tidak diganggu lagi
Begitu lama rakyat Aceh melindungi dan menjaga kuburannya untuk memberikan ketidak-kepastian tentang syahid panglima besar ini serta menjaga stamina pejuang lainnya. Sebaliknya Belanda terpaksa patroli dan kesiagaan yang terus menerus sampai memperoleh kepastian tentang syahidnya Teuku Umar (Perang Kolonial Belanda di Aceh, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh)
Dilahirkan 1854 (tanggal dan bulan tidak diketahui) di Meulaboh, tepatnya di Gampong Mesjid, sekarang Gampong Belakang, Kecamatan Johan Pahlawan atau sekitar 100 meter dari Mesjid Nurul Huda sekarang, ia lahir dari seorang ayah yang bernama Teuku Cut Mahmud (kuburan di sekitar Keutapang Wangi Gampong Belakang) dan ibu Cut Meuhani (makam di Pasi Mesjid)
Beberapa Sumber menyatakan Teuku Umar sudah memanggul senjata dan bertempur melawan Belanda sejak usia 19 tahun ketika dimulainya agresi Belanda pertama pada tahun 1873 yang dipimpin Kohler sebagai utusan salah satu gampong dan karir militer Panglima Laut Barat ini berakhir 1899 saat tertembak kerika kerinduannya memuncak pada kampung halaman di Meulaboh di sela-sela pengejaran oleh pihak Belanda.
Banyak pihak bersepkulasi, ada apa gerangan Umar ingin ke Meulaboh? Adakah kerinduan itu semata-mata? Ataukah ada maksud lain, sebuah sumber menyatakan kedatangannya untuk mengepung dan menyerang tangsi militer Belanda di Meulaboh dan ia ingin sekali membunuh dan menangkap Van Heutsz yang sedang berada di sana, persiapan penyerangan dipusatkan di Lhok Bubon dan melalui pantai Suak Ujong Kalak, namun Van Heuzt punya siasat siapa tahu Umar ada di sana dan ia memerintahkan komandan lapangan yang bernama Let I JJ Verburg untuk menyerang.
Dua puluh enam tahun membangun karir berbahaya, bersahabat dan bertempur, memanfaatkan Belanda untuk mempersenjatai pasukannya dengan alat-alat modern di waktu itu, dan Teuku Umar telah membangun hubungan dengan Belanda dalam bentuk persahabatan dan sekaligus permusuhan.
Teuku Umar seorang pahlawan nasional, namanya diabadikan seantataro negeri, dari jalan sampai dengan kesatuan militer, sejarahnya diajarkan di sekolah-sekolah, setiap 11 Februari wafatnya diperingati, namun, generasi muda sering disuguhkan terutama di Meulaboh sejarah setelah beliau syahid, drama yang pernah dipentaskan di Suak Ujong Kalak adalah bagaimana ia tertembak, bukan bagaimana ia berjuang, baru-baru ini, kajian yang tidak mendalam dan duga-duga mencoba menelusuri tempat ia pernah dimakamkan.
Teuku Umar fenomena menarik, hubungannya dengan Belanda berjalan fluktuatif, tergantung kepentingan : ia, Aceh dan kepentingan Belanda. Ia satu-satu tokoh yang menyerah kemudian bertempur lagi melawan Belanda dan syahid, ia adalah tokoh besar dimana Belanda, Sultan dan Pemerintah RI menghormatinya. Belanda mengangkatnya sebagai Teuku Umar Johan Pahlawan Panglima Perang Besar Gubernemen Kompeuni dengan tugas membantu Belanda memadamkan pemberontakan di Aceh, Sultan memberikan gelar Amir Ul Bahar Bagian Barat karena ia mengumpulkan dana dari penjualan lada namun tetap mengirimkan kepada sultan yang sedang dalam pengasingan, Pemerintah RI mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1973 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor No. 083/TK/1973 tanggal 6 Nopember 1973 (Majalah Yayasan Teuku Umar), karena ia merintis sejarah, membuat Belanda tidak mudah dan sulit dalam menguasai Aceh. (T Tjut Yatim seorang tokoh di Meulaboh mengatakan, Teuku Umar diangkat pahlawan Nasional 1955 dengan Surat Keputusan Presiden Nomor 217/1955 dan diperingati untuk pertama sekali tahun 1957 dan Cut Nyak Dhien diangkat jadi pahlawan 1964 dengan Surat Keputusan Presiden Nomor 106 Tahun 1964 tanggal 2 Mei 1964
Mengapa Bekerjsama?
Sejak kecil saya bertanya, mengapa Teuku Umar diangkat menjadi pahlawan nasional? Apa pertimbangannya? Apa yang dilakukannya sehingga ia layak menjadi pahlawan nasional? Pertanyaan yang menyelimuti kepala saya itu, memaksa saya membaca dan mendengar banyak kisah tentang Teuku Umar, Buku Paul Van Teer, Perang Aceh yang diterbitkan Grafiti Pers, Zentggraaff tentang Perang Aceh, Asal Mula Konflik Aceh (Anthony Reid) sumber keluarga dan digital, saya buru untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan tersebut..
Namun, saya terkesima dengan catatan sejarah yang dibuat Panglima Tinggi Penguasa Laot Bagian Barat Aceh ini. Dalam bukunya Perang Aceh, Paul Van Teer menyatakan, Umar seorang pribadi yang unik, ia bisa hidup dengan gaya Eropah di rumahnya, Lam Pisang yang dibangun oleh Belanda, kemudian dibakar oleh Belanda sendiri 30 Maret 1896 karena Umar “berkhianat”
Teuku Umar mampu berkomunikasi dan menyerap informasi dalam Belanda dan Inggris, hidup dengan gaya seorang baron dengan andalan pengaruh, keseganan, kuasa, perdagangan lada dan pemurah di tengah-tengah pengikutnya yang fanatik nan sejahtera, namun Umar juga bisa berperang bergerilya di hutan-hutan Aceh, hidup dalam kesusahan, berperang bertelanjang kaki. Paul juga mengatakan bahwa Umar pernah bercita-cita menjadi Sultan Aceh, ketika ia mendapatkan kepercayaan penuh dari Belanda.
Pertanyaan seputar mengapa Teuku Umar mesti bekerjasama dengan Belanda adalah pertanyaan yang sulit dijawab sebab jawaban tentunya hanya diketahui oleh Teuku Umar sendiri, namun dalam perjalanan sejarahnya, saya menemukan beberapa alasan.
Pertama kerjasama tersebut dalam upaya untuk mencari dan mendanai/meringankan biaya perang bagi tokoh-tokoh dan kalangan istana Aceh dalam upaya melawan Belanda. Ini terbukti bahwa Teuku Umar membagi hasil uang yang diperoleh dari Belanda kepada Sultan dan panglima, Umar membentuk persektuan yang kuat dengan Teungku Chik Kutakarang. mereka berdua sangat menentang kebijakan kelompok gerilyawan pimpinan putra-putra Teungku Chik Di Tiro yaitu Mat Amin dan Teungku Beb yang berusaha menegakkan hak sabil di XXV Mukim, karenanya Teungku Kutakarang mengajarkan kepada muridnya yang juga ulama bahwa memerangi Teuku Umar bukan dikategorikan perang suci. (Anthony Reid, Asal Usul Konflik Aceh).
Namun, saya meragukan adanya persaingan antara kelompok Umar dengan keluarga Teungku Chik di Tiro. Ulama karismatik Tiro ini memang sering mengingatkan Umar agar selalu memperhatikan perannnya dalam hubungan dengan Belanda dan perang suci yang sedang Tiro lancarkan. Sebuah sumber disebutkan bahwa anak Teuku Umar dengan Cut Nyak Dhien yang bernama Tjut Gambang diperistri oleh Teungku Majet di Tiro yang merupakan anak dari Teungku Tiro tua.
Umar juga dikenal sebagai tokoh yang membiayai perang dengan menggunakan uangnya sendiri. Dengan dana yang bersumber dari ekpor lada, Umar menguasai perdagangan lada dalam tangannya sendiri dan ia memunggut pajak dari lada untuk daerah – daerah lainnya sebesar $ 0,25 per pikul atas nama sultan,
Kekayaan ini dengan murah hati dibagi-bagikannya kepada para pengikut, istana, kaum ulama di Keumala yang sedang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Ia akhirnya dianugerahi pengakuan resmi oleh sultan sebagai Amir ul bahar pantai barat (Asal Mula Konflik Aceh, Anthony Reid)
Kedua, Teuku Umar ingin memperkecil kontak tembak antara Belanda yang dilengkapi senjata modern dengan para gerilyawan yang memiliki senjata sangat terbatas. Peperangan antara kubu Sultan yang didukung sepenuhnya oleh Panglima Polem, para ulama dan Ulee Balang di Mukim XXV dan XXVI telah memakan banyak korban terutama di pihak Aceh.
Belanda terus melakukan upaya memperluas kekuasaannya di luar lini konsentrasi, namun mereka juga menyadari bahwa biaya perang dan korban dari pihak mereka juga tidak sedikit dan penguasaan daerah di luar lini konsentrasi hanya bersifat semu, dengan kata lain cuma di sekitar pos yang mereka bangun, Belanda berkuasa.
Kondisi ini dimanfaatkan Teuku Umar sebagai penghubung antara kedua belah pihak namun dengan tetap memikirkan kepentingan pihak Aceh, dan beberapa lama Umar berhasil menurunkan intensitas kontak tembak di daerah tersebut, yang oleh Reid disebutkan tidak karena kemampuan militernya tetapi karena caranya dalam mendekati para pejuang Aceh dan keluwesannya dalam berhadapan dengan orang lain dan kemudian membujuk sebagian besar uleebalang dan ulama yang paling terkemuka bahwa kepentingan mereka akan dijaga dengan cara pura-pura setia kepada Belanda
Ketiga sebagai seorang yang terhormat di kalangan suku dan rakyatnya, tidak mungkin ia mengandaikan kehormatan diri dan keluarganya kepada Belanda hanya ingin mendapatkan keuntungan sesaat, justru kekuatan senjata Aceh tidak seimbang dan personil yang tidak terlatih perlu dimodernkan dan dilatih. Untuk memperoleh senjata yang modern maka salah satu cara yang paling efektif mererbut hati Belanda sekaligus senjatanya,
Nisero dan Hok Canton
Seperti yang dikatakan Al-Quran, akhir hiduplah yang menentukan siapa manusia yang sebenarnya, Umar bisa saja dianggap orang mengedepankan kepentingannya dengan Belanda, ketika musim lada harus dijual, ia mencari celah mendekati Belanda agar pengapalan ladanya tidak terganggu. Namun ketika ia dilecehkan sebagai seorang pribumi Aceh yang mempunyai martabat dan harga diri, dengan tidak segan-segan mengambil langkah mencerai Belanda sebagaimana ia tunjukan dalam peristiwa Nisero.
Catatan harian seorang mualim III mesin kapal Nisero, William Bradley mengatakan saat disandera oleh Teuku Imeum Muda Teunom (saingan berat Teuku Umar) pada tanggal 8 November 1883, kapal uap milik Inggris yang berbobot 1800 Tons tersebut, dibawah nakhoda Capt. W.S. Woodhouse, terdampar di pantai Kerajaan Teunom dekat Panga, pantai barat Aceh.
Berlayar dari Surabaya ke Marseille, dengan mengangkut gula dengan awak kapal yang terdiri dari berbagai bangsa yaitu 10 Inggris, 2 Belanda, 2 Jerman, 2 Norwegia, 2 Italia dan satu Amerika. Saat terdampar di pantai Teunom, mereka semua disandera oleh Raja Teunom dan dibawa ke pedalaman. Raja meminta tebusan kendatipun ia telah menanda-tangani pengakuan kedaulatan dibawah Belanda (korte verklaring).
Kejadian ini menyebabkan perseteruan diplomatik antara Belanda dengan Inggris yang sangat marah kepada Belanda yang dianggap tidak mampu menjaga keamanan di perairan Aceh. Kaitannya dengan Teuku Umar adalah secara diam-diam Gubernur Laging Tobias telah mengirimkam pasukan militer yang terdiri dari orang-orang Aceh yang telah bersahabat untuk membebaskan para sandera. Sebagaiman yang dikutip Paul Van Teer, akhirnya Teuku Umar yang sebelumnya telah menyatakan takluk kepada Belanda telah dipergunakan untuk memimpin operasi militer ini.
Teuku Umar dengan pasukannya yang dibawa oleh kapal Belanda yang bernama Bengkulen, diperlakukan sangat tidak enak. Ia harus tidur di geladak seperti seorang kuli, diperlakukan secara tidak hormat, dimaki oleh kelasi Belanda yang sedang mabuk.
Teuku Umar tersinggung dan tipikal Orang Aceh terhormat kertika diremehkan oleh Belanda, dendamnya dipendamnya selama ia dan pasukannya di kapal Belanda itu. Tetapi begitu Teuku Umar dengan pasukannya didaratkan oleh sebuah sekoci di pantai Panga, maka semua awak kapal dari sekoci itu dibunuhnya, dan Teuku Umar dengan pasukannya menyatukan diri dengan rakyat Teunom.
Sukses besar Raja Imam Muda Teunom dalam menjadikan Kapal Nisero sebagai pusat dan andalan dalam diplomasi internasional dan memperoleh keuntungan yang besar dari tembusan, telah mendorong Teuku Umar untuk melakukan hal sama terhadap kapal lain yang menjadi mitra dagangnya.
Pada tanggal 14 Juli 1886 Kapal Hok Canton, membuang sauh di Pantai Rigah untuk berdagang seperti biasa dengan Teuku Umar. Kapal dinakhodai Hansen ini bersauh di Rigah, sekitar 40 prajurit Teuku Umar menaiki kapal dan menahan semua perwira berkebangsaan Eropah, termasuk Hansen bersama istrinya.
Dalam upaya penawanan, perwira Eropah melawan, dua orang ABK tewas, sedangkan Hansen sendiri mengalami luka parah, kemudian meninggal dalam tahanan beberapa hari kemudian, Ny Hansen dan perwira kamar mesin dua Foy yang berbangsa Scotlandia ditawan oleh Teuku Umar, serta harta rampasan yang cukup banyak diangkut ke darat
Penyanderaan Kapal Hok Canton oleh Teuku Umar ini, beberapa catatan sejarah dipicu oleh sentimen pribadi kepada Hansen. Pada bulan Juni 1886 Teuku Umar hendak diculik oleh Hansen karena tergoda harga kepala Teuku Umar senilai 25.000 ringgit yang dijanjikan Belanda atas tragedi yang ditimbul Teuku Umar atas awak kapal Bengkulen dan ia meminta kepada Teuku Umar untuk datang ke kapalnya untuk mengambil sendiri uang lada dan rencananya Hansen akan menculik Teuku Meulaboh saat mengambil uang tersebut.
Namun, dugaan ingin mencapai kesuksesan sebagaimana yang diperoleh saingan beratnya, Teuku Raja Imeum Muda Teunom mendapat untung dari persitiwa Nisero dan ia ingin menggunakan Hok Canton untuk tujuan yang sama.
Penyanderaan Hok Canton menimbulkan reaksi dan suasana panas di Penang untuk mengutuk Belanda sebagai penyebab keadaan tidak aman di Aceh. Tidak sebagaimana kasus Nisero, Teuku Umar tidak dapat mengharap banyak untuk simpati siapa pun, baik Pemerintah Inggris maupun pemerintah negara lain tidak menaruh perhatian dalam persoalan ini.
Mengapa? Sebab Kapal Hok Canton kendatipun berpangkalan di Penang, namun kapal tersebut didaftar di Ulee Lhee dengan demikian ia adalah kapal Aceh. Karena itu Teuku Umar harus puas dengan tebusan dari Belanda sebesar $ 25.000,-
Khianati Belanda
Snouck Hurgronje mmemanfaatkan kedudukan Gubernur Jenderal yang baru yaitu Jhr.C.H.A Van der Wijck yang diangkat Oktober 1893 untuk mengizinkan Kolonel Deijkerhoff untuk memanfaatkan dengan penuh kehati-hatian Teuku Umar yang telah menyerah pada akhir bulan September 1893. Penyerahan diri Teuku Umar dengan pasukan dilakukan di depan Teuku Kadhi Malikul Ade di makam Teungku di Anjong, Pelanggahan dekat Kuta Raja. Inilah awal dari apa yang dikatakan oleh M.H.Szekely Lulofs sebaga De Oemar Comedie, sandiwara Teuku Oemar.
Umar diberi senjata dan uang untuk tugas membersihkan wilayah XXV mukim dan XXVI mukim di luar garis pertahanan Belanda. Dan untuk memperkuat pasukannya dalam memadamkan pemberotakan di Aceh Besar, tanggal 1 Januari 1894, Umar menerima bantuan militer dari Belanda untuk membentuk legiun modern dalam upaya memadamkan pemberontakan di segi tiga Aceh Besar, dengan kekuatan pasukan modern dengan dilengkapi senjata 880 pucuk (bandingkan dengan penyerahan senjata oleh GAM), amunisi 25.000 butir peluru, Umar telah memiliki sebuah peralatan perang yang mencukupi dan sekaligus kepercayaan Belanda.
Pengkhiatan Teuku Umat ini, menyebabkan Dijkerhoof dicopot dan digantikan dengan Lejen Vetter dan tanggal 26 April 1896 ia mengeluarkan maklumat mencabut gelar kehormatan yang sudah dianuegrahkan sebagai Panglima Besar Perang Kompeni, Johan Pahlawan, sebagai Ulee Balang Leupung dan menuntut pengembalian senjata.
Ia bekerjasama dengan Belanda untuk memerangi terutama Lam Krak. Namun pertanyaannya mengapa kemudian Teuku Umar memutuskan untuk kembali berjuang bersama bangsa Aceh pada tahun 30 September 1896? Apa yang memotivasi ia untuk cabut dan lari dari Belanda? Inilah yang oleh Belanda dicatat sebagai Het Verraad Van Teuku Umar atau pengkhiatan Teuku Umar
Ada yang mengatakan bahwa Pertama, Cut Nyak Dhien lah yang menjadi fokus yang menyebabkan Teuku Umar kembali berjuang di jalan Allah, Cut Nyak Dhien, seorang wanita kokoh berprinsip, bepegang teguh kepada agama, ia menyakin sepenuhnya kehidupan akhirat dan perjuangan suci dalam melawan Belanda.
Cut Nyak telah menyakinkan Teuku Umar untuk kembali berjuang bersama rakyat Aceh, Cut Nyak Dhien, sosok yang sangat beragama dan selalu membujuk sang suami untuk tetap kembali berjuang untuk rakyat Aceh dan ini dibuktikan setelah syahidnya sang suami, ia meeruskan perjuangan Teuku Umar hingga tertangkap pada 4 Nopember 1905 dan dibuang ke Seumeudang dan meninggal di pengasingan pada tahun 6 Nopember 1908.


Senin, 15 Juli 2013

Menumpas Pemberontakan PRRI/Permesta ||PR GUSTU

Masa Demokrasi Liberal tahun 1950 menimbulkan ketidak stabilan dalam bidang politik. Kemudian pada tahun 1955 diadakan pernilihan umum, namun Pemilu tersebut tidak berhasil menghilangkan pertentangan‑pertentangan politik. Oleh karena itu beberapa daerah muncul suara - suara menuntut otonomi yang luas, karena tidak ada keseirnbangan antara daerah dengan pusat dan daerah merasa dianaktirikan oleh pemerintah pusat terutarna dalam bidang pernbangunan.
Dalam keadaan yang demikian itu bekas Divisi Banteng mengadakan reuni di Padang pada tanggal 20 ‑ 24 Nopernber 1956. Hasil reuni tersebut terbentuklah Dewan Banteng yang diketuai oleh Letkol Ahmad Husein. Dengan terbentuknya Dewan Banteng yang bertendensi politik, maka KSAD melarang perwira‑perwira AD melakukan kegiatan di bidang politik. Tetapi larangan itu bahkan disambut oleh ketua Dewan Benteng dengan mengambil alih pemerintahan Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Muloharjo, dengan dalih tidak mampu melaksanakan pembangunan.
Kegiatan di Sumatera Tengah itu diikuti oleh Sumatera Timur yaitu Ketua Dewan Gajah mengambil alih semua kekuasaan yang ada dalam wilayah TNI kemudian Sumatera Selatan terjadi kegiatan ‑ kegiatan yang sama. Setelah diadakan Konferensi Dinas Pemerintahan Sumatera Selatan lahirlah Garuda. Kemudian Panglima TNI Letnan Kolonel Barlian mengambil alih pemerintahan Sumatera Pusat, mengadakan musyawarah pembangunan nasional untuk memecahkan persoalan secara terbuka. Namun usaha pernerintah tersebut tidak diterima, bahkan gerakan kedaerahan yang bersifat sparatis terus berlangsung yang akhirnya menjurus menjadi pernberontakan.
Pemberontakan makin memuncak dengan proklamasi pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tanggal 15 Pebruari 1958 oleh Ahmad Husein, Kolonel Dahlan Jombek dan Kolonel Simbolon. Kemudian untuk mengatasi pernberontakan tersebut pemerintah bersikap tegas dengan melakukan Operasi militer. Perwira yang terlibat seperti Letkol Ahmad Husein, Kolonel Dahlan Jombek, Kolonel Siimbolon diberhentikan dengan tidak hormat.
Operasi gabungan yang dilaksanakan yaitu Operasi Tegas (Untuk Daerah Riau), Operasi 17 Agustus (Untuk Sumatera Barat), Operasi Sapta Marga (untuk Sumatera Timur) dan Operasi Sadar (untuk Sumatera Selatan). Operasi 17 Agustus yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani ditujukan kedaerah Sumatera Barat dengan sasaran merebut pusat militer lawan di Padang dan pusat pernerintahan di Bukit Tinggi. Dari Kodam VII/ Diponegoro mengiriinkan Yon ‑ 438 dan Yon ‑ 440. Dengan operasi tersebut maka kota Padang dan Bukit Tinggi dapat dikuasai dan diduduki. Dengan jatuhnya Bukit Tinggi selesailah operasi pernbersihan dan teritorial. Dengan demikian tokoh‑tokoh PRRI melarikan diri ke hutan‑hutan dan pada pertengahan tahun 1961 mereka menyerah sesuai dengan anjuran pemnerintah.
Kericuhan yang terjadi tidak hanya terbatas di daerah Sumatera saja, tetapi menjalar pula ke daerah ‑ daerah lain. Di Sulawesi Utara lahir Dewan Menghuni, kegiatan selanjutnya ialah panglima TNI/VII Letkol Fanco Samuel mengadakan pertemuan dengan staf dan perwira ‑ perwira. Perternuan menghasilkan konsensi mengenai cara ‑ cara untuk mengatasi ketegangan dalam kehidupan kenegaraan, maka tanggung jawab wilayah dan pasukan harus berada dalam satu tangan yaitu panglima TT. Kemudian diadakan rapat lagi pada tanggal 2 Maret 1957 di Kantor Gebenuran Makasar (Ujungpandang) dihadiri oleh tokoh ‑ tokoh sipil dan militer. Hasil dari perternuan adalah Piagam perjuangan semesta ( Permesta ).
Sementara itu Letkol Dj. Somba Komandan KDMST menyatakan bahwa Sulawesi Utara memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat. Atas tindakan tersebut kemudian pernerintah memutuskan untuk memecat dengan tidak hormat Letkol Vance Samuel, Letkol Dj. Somba dan Mayor D. Punturambi serta perwira lainnya.
Pemberontakan Permesta ditindak tegas dan dihadapi dengan kekuatan militer oleh pemerintah pusat serta alat negara dan rakyat setempat yang setia kepada Republik Indonesia. Dalam rangka penumpasan pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara tersebut kodam VII/Diponegoro mengirimkan Batalyon Inf ‑ 432 dalam Operasi Merdeka.
Sebelum operasi pokok dilaksanakan, maka di Sulawesi Tengah telah dilaksanakan operasi "Insyaf” yang dikoordinasi oleh Komando antar Daerah Indonesia Timur (Komandat). Operasi tidak mengetahui hambatan dan dapat merebut dan menduduki kota. Setelah masing‑masing Komando operasi berhasil menguasai daerah sasaran, maka dimulai gerakan ke sasaran pokok yaitu Manado, untuk merebut Sulawesi Utara dan kota Manado. Manado telah dikepung dari segala penjuru. Serangan mulai dilancarkan pada tanggal 16 Juni 1958 dan sepuluh hari kemudian kota Manado dapat diduduki.
Pada bulan Agustus 1958 kekuatan pokok Permesta sudah lumpuh. Namun demikian gerakan penumpasan terhadap sisa‑sisa pasukan Permesta tetap berjedan dan operasi tersebut dilaksanakan dengan operasi pembersihan dan teritorial. Dalam opeasi itu tokoh ‑ tokoh Permesta tertangkap dan sisa ‑ sisa pasukannya menyerahkan diri sesuai dengan seruan pemerintah.


JENIS-JENIS TANAH || PR GUSTU

Jenis-Jenis Tanah- Interaksi antara faktor-faktor pembentuk tanah akan menghasilkan tanah dengan sifat-sifat yang berbeda. Berdasarkan pada faktor pembentuk dan sifat tanah inilah, beberapa ahli mengklasifikasikan tanah dengan klasifikasi yang berbeda. Tingkat kategori yang sudah banyak dikembangkan dalam survei dan pemetaan tanah di Indonesia, yaitu tingkat kategori jenis (great soil group). Klasifikasi jenis-jenis tanah pada tingkat tersebut sering digunakan untuk mengelompokkan tanah di Indonesia.
a. Tanah Organosol atau Tanah Gambut
Tanah jenis ini berasal dari bahan induk organik dari hutan rawa, mempunyai ciri warna cokelat hingga kehitaman, tekstur debulempung, tidak berstruktur, konsistensi tidak lekat sampai dengan agak lekat, dan kandungan unsur hara rendah. Tanah ini terbentuk karena adanya proses pembusukan dari sisa-sisa tumbuhan rawa. Banyak terdapat di rawa Sumatra, Kalimantan, dan Papua, kurang baik untuk pertanian maupun perkebunan karena derajat keasaman tinggi.
b. Tanah Aluvial
Jenis tanah ini masih muda, belum mengalami perkembangan. Bahannya berasal dari material halus yang diendapkan oleh aliran sungai. Oleh karena itu, tanah jenis ini banyak terdapat di daerah datar sepanjang aliran sungai.
c. Tanah Regosol
Tanah ini merupakan endapan abu vulkanik baru yang memiliki butir kasar. Penyebaran terutama pada daerah lereng gunung api. Tanah ini banyak terdapat di daerah Sumatra bagian timur dan barat, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
d. Tanah Litosol
Tanah litosol merupakan jenis tanah berbatu-batu dengan lapisan tanah yang tidak begitu tebal. Bahannya berasal dari jenis batuan beku yang belum mengalami proses pelapukan secara sempurna. Jenis tanah ini banyak ditemukan di lereng gunung dan pegunungan di seluruh Indonesia.
e. Tanah Latosol
Latosol tersebar di daerah beriklim basah, curah hujan lebih dari 300 mm/tahun, dan ketinggian tempat berkisar 300–1.000 meter. Tanah ini terbentuk dari batuan gunung api kemudian mengalami proses pelapukan lanjut.
f. Tanah Grumusol
Jenis ini berasal dari batu kapur, batuan lempung, tersebar di daerah iklim subhumidatau subarid, dan curah hujan kurang dari 2.500 mm/tahun.
g. Tanah Podsolik
Tanah ini berasal dari batuan pasir kuarsa, tersebar di daerah beriklim basah tanpa bulan kering, curah hujan lebih 2.500 mm/tahun. Tekstur lempung hingga berpasir, kesuburan rendah hingga sedang, warna merah, dan kering.
h. Tanah Podsol
Jenis tanah ini berasal dari batuan induk pasir. Penyebaran di daerah beriklim basah, topografi pegunungan, misalnya di daerah Kalimantan Tengah, Sumatra Utara, dan Papua Barat. Kesuburan tanah rendah.
i. Tanah Andosol
Tanah jenis ini berasal dari bahan induk abu vulkan. Penyebaran di daerah beriklim sedang dengan curah hujan di atas 2.500 mm/tahun tanpa bulan kering. Umumnya dijumpai di daerah lereng atas kerucut vulkan pada ketinggian di atas 800 meter. Warna tanah jenis ini umumnya cokelat, abu-abu hingga hitam.
j. Tanah Mediteran Merah Kuning
Tanah jenis ini berasal dari batuan kapur keras (limestone). Penyebaran di daerah beriklim subhumid, topografi karst dan lereng vulkan dengan ketinggian di bawah 400 m. Warna tanah cokelat hingga merah. Khusus tanah mediteran merah kuning di daerah topografi karst disebut ”Terra Rossa”.
k. Hidromorf Kelabu
Jenis tanah ini perkembangannya lebih dipengaruhi oleh faktor lokal yaitu topografi yang berupa dataran rendah atau cekungan, hampir selalu tergenang air, dan warna kelabu hingga kekuningan.


Tugas: @gustuputra

Selasa, 14 Mei 2013

FAKTA SEJARAH PADA SAAT PROKLAMASI || PR GUSTU


Berikut fakta sejarah yang terjadi pada saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ( diperoleh dari berbagai rangkuman sumber sejarah Bangsa Indonesia antara lain dari : Sekretariat Negara RI & Wikipedia ) :
Perdebatan Antara Golongan Tua & Golongan Muda
Proklamasi, ternyata didahului oleh perdebatan hebat antara golongan pemuda dengan golongan tua. Baik golongan tua maupun golongan muda, sesungguhnya sama-sama menginginkan secepatnya dilakukan Proklamasi Kemerdekaan dalam suasana kekosongan kekuasaan dari tangan pemerintah Jepang. Hanya saja, mengenai cara melaksanakan proklamasi itu terdapat perbedaan pendapat. Golongan tua, sesuai dengan perhitungan politiknya, berpendapat bahwa Indonesia dapat merdeka tanpa pertumpahan darah, jika tetap bekerjasama dengan Jepang.
Karena itu, untuk memproklamasikan kemerdekaan, diperlukan suatu revolusi yang terorganisir. Soekarno dan Hatta, dua tokoh golongan tua, bermaksud membicarakan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( PPKI ). Dengan cara itu, pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan tidak menyimpang dari ketentuan pemerintah Jepang. Sikap inilah yang tidak disetujui oleh golongan pemuda. Mereka menganggap, bahwa PPKI adalah badan buatan Jepang. Sebaliknya, golongan pemuda menghendaki terlaksananya Proklamasi Kemerdekaan itu, dengan kekuatan sendiri. Lepas sama sekali dari campur tangan pemerintah Jepang. Perbedaan pendapat ini, mengakibatkan penekanan-penekanan golongan pemuda kepada golongan tua yang mendorong mereka melakukan “aksi penculikan” terhadap diri Soekarno-Hatta ( lihat Marwati Djoened Poesponegoro, ed. 1984:77-81 )
Tanggal 15 Agustus 1945, kira-kira pukul 22.00, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, tempat kediaman Bung Karno, berlangsung perdebatan serius antara sekelompok pemuda dengan Bung Karno mengenai Proklamasi Kemerdekaan sebagaimana dilukiskan Lasmidjah Hardi ( 1984:58 ); Ahmad Soebardjo ( 1978:85-87 ) sebagai berikut:
Sekarang Bung, sekarang! malam ini juga kita kobarkan revolusi !” kata Chaerul Saleh dengan meyakinkan Bung Karno bahwa ribuan pasukan bersenjata sudah siap mengepung kota dengan maksud mengusir tentara Jepang. ” Kita harus segera merebut kekuasaan !” tukas Sukarni berapi-api. ” Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami !” seru mereka bersahutan. Wikana malah berani mengancam Soekarno dengan pernyataan; ” Jika Bung Karno tidak mengeluarkan pengumuman pada malam ini juga, akan berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran esok hari .”
Mendengar kata-kata ancaman seperti itu, Soekarno naik darah dan berdiri menuju Wikana sambil berkata: ” Ini batang leherku, seretlah saya ke pojok itu dan potonglah leherku malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari !”. Hatta kemudian memperingatkan Wikana; “… Jepang adalah masa silam. Kita sekarang harus menghadapi Belanda yang akan berusaha untuk kembali menjadi tuan di negeri kita ini. Jika saudara tidak setuju dengan apa yang telah saya katakan, dan mengira bahwa saudara telah siap dan sanggup untuk memproklamasikan kemerdekaan, mengapa saudara tidak memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri ? Mengapa meminta Soekarno untuk melakukan hal itu ?”
Namun, para pemuda terus mendesak; ” apakah kita harus menunggu hingga kemerdekaan itu diberikan kepada kita sebagai hadiah, walaupun Jepang sendiri telah menyerah dan telah takluk dalam ‘Perang Sucinya ‘!”. ” Mengapa bukan rakyat itu sendiri yang memprokla­masikan kemerdekaannya ? Mengapa bukan kita yang menyata­kan kemerdekaan kita sendiri, sebagai suatu bangsa ?”. Dengan lirih, setelah amarahnya reda, Soekarno berkata; “… kekuatan yang segelintir ini tidak cukup untuk melawan kekuatan bersenjata dan kesiapan total tentara Jepang! Coba, apa yang bisa kau perlihatkan kepada saya ? Mana bukti kekuatan yang diperhitungkan itu ? Apa tindakan bagian keamananmu untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak ? Bagaimana cara mempertahankan kemerdekaan setelah diproklamasikan ? Kita tidak akan mendapat bantuan dari Jepang atau Sekutu. Coba bayangkan, bagaimana kita akan tegak di atas kekuatan sendiri “. Demikian jawab Bung Karno dengan tenang.
Para pemuda, tetap menuntut agar Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan. Namun, kedua tokoh itu pun, tetap pada pendiriannya semula. Setelah berulangkali didesak oleh para pemuda, Bung Karno menjawab bahwa ia tidak bisa memutuskannya sendiri, ia harus berunding dengan para tokoh lainnya. Utusan pemuda mempersilahkan Bung Karno untuk berunding. Para tokoh yang hadir pada waktu itu antara lain, Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa Kusumasomantri, Djojopranoto, dan Sudiro. Tidak lama kemudian, Hatta menyampaikan keputusan, bahwa usul para pemuda tidak dapat diterima dengan alasan kurang perhitungan serta kemungkinan timbulnya banyak korban jiwa dan harta. Mendengar penjelasan Hatta, para pemuda nampak tidak puas. Mereka mengambil kesimpulan yang menyimpang; menculik Bung Karno dan Bung Hatta dengan maksud menyingkirkan kedua tokoh itu dari pengaruh Jepang.
Pukul 04.00 dinihari, tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta oleh sekelompok pemuda dibawa ke Rengasdengklok. Aksi “penculikan” itu sangat mengecewakan Bung Karno, sebagaimana dikemukakan Lasmidjah Hardi ( 1984:60 ). Bung Karno marah dan kecewa, terutama karena para pemuda tidak mau mendengarkan pertimbangannya yang sehat. Mereka menganggap perbuatannya itu sebagai tindakan patriotik. Namun, melihat keadaan dan situasi yang panas, Bung Karno tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mengikuti kehendak para pemuda untuk dibawa ke tempat yang mereka tentukan. Fatmawati istrinya, dan Guntur yang pada waktu itu belum berumur satu tahun, ia ikut sertakan.
Rengasdengklok kota kecil dekat Karawang dipilih oleh para pemuda untuk mengamankan Soekarno-Hatta dengan perhitungan militer; antara anggota PETA ( Pembela Tanah Air ) Daidan Purwakarta dengan Daidan Jakarta telah terjalin hubungan erat sejak mereka mengadakan latihan bersama-sama. Di samping itu, Rengasdengklok letaknya terpencil sekitar 15 km. dari Kedunggede Karawang. Dengan demikian, deteksi dengan mudah dilakukan terhadap setiap gerakan tentara Jepang yang mendekati Rengasdengklok, baik yang datang dari arah Jakarta maupun dari arah Bandung atau Jawa Tengah.
Sehari penuh, Soekarno dan Hatta berada di Rengasdengklok. Maksud para pemuda untuk menekan mereka, supaya segera melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan terlepas dari segala kaitan dengan Jepang, rupa-rupanya tidak membuahkan hasil. Agaknya keduanya memiliki wibawa yang cukup besar. Para pemuda yang membawanya ke Rengasdengklok, segan untuk melakukan penekanan terhadap keduanya. Sukarni dan kawan-kawannya, hanya dapat mendesak Soekarno-Hatta untuk menyatakan proklamasi secepatnya seperti yang telah direncanakan oleh para pemuda di Jakarta . Akan tetapi, Soekarno-Hatta tidak mau didesak begitu saja. Keduanya, tetap berpegang teguh pada perhitungan dan rencana mereka sendiri. Di sebuah pondok bambu berbentuk panggung di tengah persawahan Rengasdengklok, siang itu terjadi perdebatan panas; ” Revolusi berada di tangan kami sekarang dan kami memerintahkan Bung, kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu …”. ” Lalu apa ?” teriak Bung Karno sambil beranjak dari kursinya, dengan kemarahan yang menyala-nyala. Semua terkejut, tidak seorang pun yang bergerak atau berbicara.
Waktu suasana tenang kembali. Setelah Bung Karno duduk. Dengan suara rendah ia mulai berbicara; ” Yang paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17 “. ” Mengapa justru diambil tanggal 17, mengapa tidak sekarang saja, atau tanggal 16 ?” tanya Sukarni. ” Saya seorang yang percaya pada mistik”. Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling suci bagi kita. tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Al-Qur’an diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia “. Demikianlah antara lain dialog antara Bung Karno dengan para pemuda di Rengasdengklok sebagaimana ditulis Lasmidjah Hardi ( 1984:61 ).
Sementara itu, di Jakarta, antara Mr. Ahmad Soebardjo dari golongan tua dengan Wikana dari golongan muda membicarakan kemerdekaan yang harus dilaksanakan di Jakarta . Laksamana Tadashi Maeda, bersedia untuk menjamin keselamatan mereka selama berada di rumahnya. Berdasarkan kesepakatan itu, Jusuf Kunto dari pihak pemuda, hari itu juga mengantar Ahmad Soebardjo bersama sekretaris pribadinya, Sudiro, ke Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno dan Hatta. Rombongan penjemput tiba di Rengasdengklok sekitar pukul 17.00. Ahmad Soebardjo memberikan jaminan, bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945, selambat-lambatnya pukul 12.00. Dengan jaminan itu, komandan kompi PETA setempat, Cudanco Soebeno, bersedia melepaskan Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta ( Marwati Djoened Poesponegoro, ed. 1984:82-83 ).
Merumuskan Teks Proklamasi Kemerdekaan
Rombongan Soekarno-Hatta tiba di Jakarta sekitar pukul 23.00. Langsung menuju rumah Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol No.1, setelah lebih dahulu menurunkan Fatmawati dan putranya di rumah Soekarno. Rumah Laksamada Maeda, dipilih sebagai tempat penyusunan teks Proklamasi karena sikap Maeda sendiri yang memberikan jaminan keselamatan pada Bung Karno dan tokoh-tokoh lainnya. De Graff yang dikutip Soebardjo ( 1978:60-61 ) melukiskan sikap Maeda seperti ini. Sikap dari Maeda tentunya memberi kesan aneh bagi orang-orang Indonesia itu, karena perwira Angkatan Laut ini selalu berhubungan dengan rakyat Indonesia.
Sebagai seorang perwira Angkatan Laut yang telah melihat lebih banyak dunia ini dari rata-rata seorang perwira Angkatan Darat , ia mempunyai pandangan yang lebih tepat tentang keadaan dari orang-orang militer yang agak sempit pikirannya. Ia dapat berbicara dalam beberapa bahasa. Ia adalah pejabat yang bertanggungjawab atas Bukanfu di Batavia; kantor pembelian Angkatan Laut di Indonesia. Ia tidak khusus membatasi diri hanya pada tugas-tugas militernya saja, tetapi agar dirinya dapat terbiasa dengan suasana di Jawa , ia membentuk suatu kantor penerangan bagi dirinya di tempat yang sama yang pimpinannya dipercayakan kepada Soebardjo. Melalui kantor inilah, yang menuntut biaya yang tidak sedikit baginya, ia mendapatkan pengertian tentang masalah-masalah di Jawa lebih baik dari yang didapatnya dari buletin-buletin resmi Angkatan Darat. Terlebih-lebih ia memberanikan diri untuk mendirikan asrama-asrama bagi nasionalis-nasionalis muda Indonesia . Pemimpin-pemimpin terkemuka, diperbantukan sebagai guru-guru untuk mengajar di asrama itu. Doktrin-doktrin yang agak radikal dipropagandakan. Lebih lincah dari orang-orang militer, ia berhasil mengambil hati dari banyak nasionalis yang tahu pasti bahwa keluhan-keluhan dan keberatan-keberatan mereka selalu bisa dinyatakan kepada Maeda. Sikap Maeda seperti inilah yang memberikan keleluasaan kepada para tokoh nasionalis untuk melakukan aktivitas yang maha penting bagi masa depan bangsanya.
Malam itu, dari rumah Laksamana Maeda, Soekarno dan Hatta ditemani Laksamana Maeda menemui Somobuco ( kepala pemerintahan umum ), Mayor Jenderal Nishimura, untuk menjajagi sikapnya mengenai pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Nishimura mengatakan bahwa karena Jepang sudah menyatakan menyerah kepada Sekutu, maka berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak diperbolehkan lagi mengubah status quo . Tentara Jepang diharuskan tunduk kepada perintah tentara Sekutu. Berdasarkan garis kebi ­ jakan itu, Nishimura melarang Soekarno-Hatta mengadakan rapat PPKI dalam rangka pelaksanaan Proklamasi Kemerde ­ kaan. Melihat kenyataan ini, Soekarno-Hatta sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi untuk membicara­kan soal kemerdekaan Indonesia dengan Jepang. Mereka hanya berharap agar pihak Jepang tidak menghalang-ha ­ langi pelaksanaan proklamasi kemerdekaan oleh rakyat Indonesia sendiri ( Hatta, 1970:54-55 ).
Setelah pertemuan itu, Soekarno dan Hatta kembali ke rumah Laksamana Maeda. Di ruang makan rumah Laksamana Maeda itu dirumuskan teks proklamasi kemerdekaan. Maeda, sebagai tuan rumah, mengundurkan diri ke kamar tidurnya di lantai dua ketika peristiwa bersejarah itu berlangsung. Miyoshi, orang kepercayaan Nishimura, bersama Sukarni, Sudiro, dan B.M. Diah menyaksikan Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo membahas rumusan teks Proklamasi. Sedangkan tokoh-tokoh lainnya, baik dari golongan tua maupun dari golongan pemuda, menunggu di serambi muka.
Menurut Soebardjo ( 1978:109 ) di ruang makan rumah Laksamana Maeda menjelang tengah malam, rumusan teks Proklamasi yang akan dibacakan esok harinya disusun. Soekarno menuliskan konsep proklamasi pada secarik kertas. Hatta dan Ahmad Soebardjo menyumbangkan pikirannya secara lisan. Kalimat pertama dari teks Proklamasi merupakan saran Ahmad Soebardjo yang diambil dari rumusan Dokuritsu Junbi Cosakai , sedangkan kalimat terakhir merupakan sumbangan pikiran Mohammad Hatta. Hatta menganggap kalimat pertama hanyalah merupakan pernyataan dari kemauan bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri, menurut pendapatnya perlu ditambahkan pernyataan mengenai pengalihan kekuasaan ( transfer of sovereignty ). Maka dihasilkanlah rumusan terakhir dari teks proklamasi itu.
Setelah kelompok yang menyendiri di ruang makan itu selesai merumuskan teks Proklamasi, kemudian mereka menuju serambi muka untuk menemui hadirin yang berkumpul di ruangan itu. Saat itu, dinihari menjelang subuh. Jam menunjukkan pukul 04.00, Soekarno mulai membuka pertemuan itu dengan membacakan rumusan teks Proklamasi yang masih merupakan konsep. Soebardjo ( 1978:109-110 ) melukiskan suasana ketika itu: “ Sementara teks Proklamasi ditik, kami menggunakan kesempatan untuk mengambil makanan dan minuman dari ruang dapur, yang telah disiapkan sebelumnya oleh tuan rumah kami yang telah pergi ke kamar tidurnya di tingkat atas. Kami belum makan apa-apa, ketika meninggalkan Rengasdengklok. Bulan itu adalah bulan suci Ramadhan dan waktu hampir habis untuk makan sahur, makan terakhir sebelum sembahyang subuh. Setelah kami terima kembali teks yang telah ditik, kami semuanya menuju ke ruang besar di bagian depan rumah. Semua orang berdiri dan tidak ada kursi di dalam ruangan. Saya bercampur dengan beberapa anggota Panitia di tengah-tengah ruangan. Sukarni berdiri di samping saya. Hatta berdiri mendampingi Sukarno menghadap para hadirin . Waktu menunjukkan pukul 04.00 pagi tanggal 17 Agustus 1945, pada saat Soekarno membuka pertemuan dini hari itu dengan beberapa patah kata.
Keadaan yang mendesak telah memaksa kita semua mempercepat pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Rancangan teks telah siap dibacakan di hadapan saudara-saudara dan saya harapkan benar bahwa saudara-saudara sekalian dapat menyetujuinya sehingga kita dapat berjalan terus dan menyelesaikan pekerjaan kita sebelum fajar menyingsing“. Kepada mereka yang hadir, Soekarno menyarankan agar bersama-sama menandatangani naskah proklamasi selaku wakil-wakil bangsa Indonesia . Saran itu diperkuat oleh Mohammad Hatta dengan mengambil contoh pada “Declaration of Independence ” Amerika Serikat. Usul itu ditentang oleh pihak pemuda yang tidak setuju kalau tokoh-tokoh golongan tua yang disebutnya “budak-budak Jepang” turut menandatangani naskah proklamasi. Sukarni mengusulkan agar penandatangan naskah proklamasi itu cukup dua orang saja, yakni Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia . Usul Sukarni itu diterima oleh hadirin.
Naskah yang sudah diketik oleh Sajuti Melik, segera ditandatangani oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Persoalan timbul mengenai bagaimana Proklamasi itu harus diumumkan kepada rakyat di seluruh Indonesia , dan juga ke seluruh pelosok dunia. Di mana dan dengan cara bagaimana hal ini harus diselenggarakan? Menurut Soebardjo ( 1978:113 ), Sukarni kemudian memberitahukan bahwa rakyat Jakarta dan sekitarnya, telah diserukan untuk datang berbondong-bondong ke lapangan IKADA pada tanggal 17 Agustus untuk mendengarkan Proklamasi Kemerdekaan. Akan tetapi Soekarno menolak saran Sukarni. ” Tidak ,” kata Soekarno, ” lebih baik dilakukan di tempat kediaman saya di Pegangsaan Timur. Pekarangan di depan rumah cukup luas untuk ratusan orang. Untuk apa kita harus memancing-mancing insiden ? Lapangan IKADA adalah lapangan umum. Suatu rapat umum, tanpa diatur sebelumnya dengan penguasa-penguasa militer, mungkin akan menimbulkan salah faham. Suatu bentrokan kekerasan antara rakyat dan penguasa militer yang akan membubarkan rapat umum tersebut, mungkin akan terjadi. Karena itu, saya minta saudara sekalian untuk hadir di Pegangsaan Timur 56 sekitar pukul 10.00 pagi .” Demikianlah keputusan terakhir dari pertemuan itu.
Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Hari Jumat di bulan Ramadhan, pukul 05.00 pagi, fajar 17 Agustus 1945 memancar di ufuk timur. Embun pagi masih menggelantung di tepian daun. Para pemimpin bangsa dan para tokoh pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda, dengan diliputi kebanggaan setelah merumuskan teks Proklamasi hingga dinihari. Mereka, telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia hari itu di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada pukul 10.00 pagi. Bung Hatta sempat berpesan kepada para pemuda yang bekerja pada pers dan kantor-kantor berita, untuk memperbanyak naskah proklamasi dan menyebarkannya ke seluruh dunia ( Hatta, 1970:53 ).
Menjelang pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan, suasana di Jalan Pegangsaan Timur 56 cukup sibuk. Wakil Walikota, Soewirjo, memerintahkan kepada Mr. Wilopo untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan seperti mikrofon dan beberapa pengeras suara. Sedangkan Sudiro memerintahkan kepada S. Suhud untuk mempersiapkan satu tiang bendera. Karena situasi yang tegang, Suhud tidak ingat bahwa di depan rumah Soekarno itu, masih ada dua tiang bendera dari besi yang tidak digunakan. Malahan ia mencari sebatang bambu yang berada di belakang rumah. Bambu itu dibersihkan dan diberi tali. Lalu ditanam beberapa langkah saja dari teras rumah. Bendera yang dijahit dengan tangan oleh Nyonya Fatmawati Soekarno sudah disiapkan. Bentuk dan ukuran bendera itu tidak standar, karena kainnya berukuran tidak sempurna. Memang, kain itu awalnya tidak disiapkan untuk bendera.
Sementara itu, rakyat yang telah mengetahui akan dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan telah berkumpul. Rumah Soekarno telah dipadati oleh sejumlah massa pemuda dan rakyat yang berbaris teratur. Beberapa orang tampak gelisah, khawatir akan adanya pengacauan dari pihak Jepang. Matahari semakin tinggi, Proklamasi belum juga dimulai. Waktu itu Soekarno terserang sakit, malamnya panas dingin terus menerus dan baru tidur setelah selesai merumuskan teks Proklamasi. Para undangan telah banyak berdatangan, rakyat yang telah menunggu sejak pagi, mulai tidak sabar lagi. Mereka yang diliputi suasana tegang berkeinginan keras agar Proklamasi segera dilakukan. Para pemuda yang tidak sabar, mulai mendesak Bung Karno untuk segera membacakan teks Proklamasi. Namun, Bung Karno tidak mau membacakan teks Proklamasi tanpa kehadiran Mohammad Hatta. Lima menit sebelum acara dimulai, Mohammad Hatta datang dengan pakaian putih-putih dan langsung menuju kamar Soekarno. Sambil menyambut kedatangan Mohammad Hatta, Bung Karno bangkit dari tempat tidurnya, lalu berpakaian. Ia juga mengenakan stelan putih-putih. Kemudian keduanya menuju tempat upacara.
Marwati Djoened Poesponegoro ( 1984:92-94 ) melukiskan upacara pembacaan teks Proklamasi itu. Upacara itu berlangsung sederhana saja. Tanpa protokol. Latief Hendraningrat, salah seorang anggota PETA, segera memberi aba-aba kepada seluruh barisan pemuda yang telah menunggu sejak pagi untuk berdiri. Serentak semua berdiri tegak dengan sikap sempurna. Latief kemudian mempersilahkan Soekarno dan Mohammad Hatta maju beberapa langkah mendekati mikrofon. Dengan suara mantap dan jelas, Soekarno mengucapkan pidato pendahuluan singkat sebelum membacakan teks proklamasi.




                                                 Pembacaan Teks Proklamasi Indonesia
Saudara-saudara sekalian ! saya telah minta saudara hadir di sini, untuk menyaksikan suatu peristiwa maha penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun. Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya ada turunnya. Tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti. Di dalam jaman Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri. Tetap kita percaya pada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya. Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia , permusyawaratan itu seia-sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.
Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah Proklamasi kami: PROKLAMASI; Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia . Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta , 17 Agustus 1945. Atas nama bangsa Indonesia Soekarno/Hatta.


                                                            Teks Proklamasi Indonesia
Demikianlah saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini kita menyusun Negara kita! Negara Merdeka. Negara Republik Indonesia merdeka, kekal, dan abadi. Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu“. ( Koesnodiprojo, 1951 ).
Acara, dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah Putih. Soekarno dan Hatta maju beberapa langkah menuruni anak tangga terakhir dari serambi muka, lebih kurang dua meter di depan tiang. Ketika S. K. Trimurti diminta maju untuk mengibarkan bendera, dia menolak: ” lebih baik seorang prajurit ,” katanya. Tanpa ada yang menyuruh, Latief Hendraningrat yang berseragam PETA berwarna hijau dekil maju ke dekat tiang bendera. S. Suhud mengambil bendera dari atas baki yang telah disediakan dan mengikatnya pada tali dibantu oleh Latief Hendraningrat.


                                                            Pengibaran Sang Saka Merah Putih
Bendera dinaikkan perlahan-lahan. Tanpa ada yang memimpin, para hadirin dengan spontan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Bendera dikerek dengan lambat sekali, untuk menyesuaikan dengan irama lagu Indonesia Raya yang cukup panjang. Seusai pengibaran bendera, dilanjutkan dengan pidato sambutan dari Walikota Soewirjo dan dr. Muwardi.
Setelah upacara pembacaan Proklamasi Kemerdekaan, Lasmidjah Hardi ( 1984:77 ) mengemukakan bahwa ada sepasukan barisan pelopor yang berjumlah kurang lebih 100 orang di bawah pimpinan S. Brata, memasuki halaman rumah Soekarno. Mereka datang terlambat. Dengan suara lantang penuh kecewa S. Brata meminta agar Bung Karno membacakan Proklamasi sekali lagi. Mendengar teriakan itu Bung Karno tidak sampai hati, ia keluar dari kamarnya. Di depan corong mikrofon ia menjelaskan bahwa Proklamasi hanya diucapkan satu kali dan berlaku untuk selama-lamanya. Mendengar keterangan itu Brata belum merasa puas, ia meminta agar Bung Karno memberi amanat singkat. Kali ini permintaannya dipenuhi. Selesai upacara itu rakyat masih belum mau beranjak, beberapa anggota Barisan Pelopor masih duduk-duduk bergerombol di depan kamar Bung Karno.
Tidak lama setelah Bung Hatta pulang, menurut Lasmidjah Hardi (1984:79) datang tiga orang pembesar Jepang. Mereka diperintahkan menunggu di ruang belakang, tanpa diberi kursi. Sudiro sudah dapat menerka, untuk apa mereka datang. Para anggota Barisan Pelopor mulai mengepungnya. Bung Karno sudah memakai piyama ketika Sudiro masuk, sehingga terpaksa berpakaian lagi. Kemudian terjadi dialog antara utusan Jepang dengan Bung Karno: ” Kami diutus oleh Gunseikan Kakka, datang kemari untuk melarang Soekarno mengucapkan Proklamasi .” ” Proklamasi sudah saya ucapkan,” jawab Bung Karno dengan tenang. ” Sudahkah ?” tanya utusan Jepang itu keheranan. ” Ya, sudah !” jawab Bung Karno. Di sekeliling utusan Jepang itu, mata para pemuda melotot dan tangan mereka sudah diletakkan di atas golok masing-masing. Melihat kondisi seperti itu, orang-orang Jepang itu pun segera pamit. Sementara itu, Latief Hendraningrat tercenung memikirkan kelalaiannya. Karena dicekam suasana tegang, ia lupa menelpon Soetarto dari PFN untuk mendokumentasikan peristiwa itu. Untung ada Frans Mendur dari IPPHOS yang plat filmnya tinggal tiga lembar ( saat itu belum ada rol film ). Sehingga dari seluruh peristiwa bersejarah itu, dokumentasinya hanya ada 3 ( tiga ) ; yakni sewaktu Bung Karno membacakan teks Proklamasi, pada saat pengibaran bendera, dan sebagian foto hadirin yang menyaksikan peristiwa yang sangat bersejarah itu.