Berikut fakta sejarah yang terjadi
pada saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ( diperoleh dari berbagai rangkuman
sumber sejarah Bangsa Indonesia antara lain dari : Sekretariat Negara RI
& Wikipedia
) :
Perdebatan Antara Golongan Tua &
Golongan Muda
Proklamasi, ternyata didahului oleh
perdebatan hebat antara golongan pemuda dengan golongan tua. Baik golongan tua
maupun golongan muda, sesungguhnya sama-sama menginginkan secepatnya dilakukan
Proklamasi Kemerdekaan dalam suasana kekosongan kekuasaan dari tangan
pemerintah Jepang. Hanya saja, mengenai cara melaksanakan proklamasi itu
terdapat perbedaan pendapat. Golongan tua, sesuai dengan perhitungan
politiknya, berpendapat bahwa Indonesia dapat merdeka tanpa pertumpahan darah,
jika tetap bekerjasama dengan Jepang.
Karena itu, untuk memproklamasikan
kemerdekaan, diperlukan suatu revolusi yang terorganisir. Soekarno
dan Hatta, dua tokoh golongan tua, bermaksud
membicarakan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( PPKI ).
Dengan cara itu, pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan tidak menyimpang dari
ketentuan pemerintah Jepang. Sikap inilah yang tidak disetujui oleh golongan
pemuda. Mereka menganggap, bahwa PPKI adalah badan buatan Jepang. Sebaliknya, golongan
pemuda menghendaki terlaksananya Proklamasi Kemerdekaan itu, dengan kekuatan
sendiri. Lepas sama sekali dari campur tangan pemerintah Jepang. Perbedaan
pendapat ini, mengakibatkan penekanan-penekanan golongan pemuda kepada golongan
tua yang mendorong mereka melakukan “aksi penculikan” terhadap diri
Soekarno-Hatta ( lihat Marwati Djoened Poesponegoro, ed. 1984:77-81 )
Tanggal 15 Agustus 1945, kira-kira
pukul 22.00, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, tempat
kediaman Bung Karno, berlangsung perdebatan serius antara sekelompok pemuda
dengan Bung Karno mengenai Proklamasi Kemerdekaan sebagaimana dilukiskan
Lasmidjah Hardi ( 1984:58 ); Ahmad Soebardjo ( 1978:85-87 ) sebagai berikut:
” Sekarang Bung, sekarang! malam
ini juga kita kobarkan revolusi !” kata Chaerul Saleh dengan meyakinkan
Bung Karno bahwa ribuan pasukan bersenjata sudah siap mengepung kota dengan
maksud mengusir tentara Jepang. ” Kita harus segera merebut kekuasaan !”
tukas Sukarni berapi-api. ” Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami !”
seru mereka bersahutan. Wikana malah berani mengancam Soekarno dengan
pernyataan; ” Jika Bung Karno tidak mengeluarkan pengumuman pada malam ini
juga, akan berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan
besar-besaran esok hari .”
Mendengar kata-kata ancaman seperti
itu, Soekarno naik darah dan berdiri menuju Wikana sambil berkata: ” Ini
batang leherku, seretlah saya ke pojok itu dan potonglah leherku malam ini
juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari !”. Hatta kemudian memperingatkan
Wikana; “… Jepang adalah masa silam. Kita sekarang harus menghadapi Belanda
yang akan berusaha untuk kembali menjadi tuan di negeri kita ini. Jika saudara
tidak setuju dengan apa yang telah saya katakan, dan mengira bahwa saudara
telah siap dan sanggup untuk memproklamasikan kemerdekaan, mengapa saudara
tidak memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri ? Mengapa meminta
Soekarno untuk melakukan hal itu ?”
Namun, para pemuda terus mendesak; ”
apakah kita harus menunggu hingga kemerdekaan itu diberikan kepada kita
sebagai hadiah, walaupun Jepang sendiri telah menyerah dan telah takluk dalam
‘Perang Sucinya ‘!”. ” Mengapa bukan rakyat itu sendiri yang memproklamasikan
kemerdekaannya ? Mengapa bukan kita yang menyatakan kemerdekaan kita
sendiri, sebagai suatu bangsa ?”. Dengan lirih, setelah amarahnya reda,
Soekarno berkata; “… kekuatan yang segelintir ini tidak cukup untuk melawan
kekuatan bersenjata dan kesiapan total tentara Jepang! Coba, apa yang bisa kau
perlihatkan kepada saya ? Mana bukti kekuatan yang diperhitungkan itu ?
Apa tindakan bagian keamananmu untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak ?
Bagaimana cara mempertahankan kemerdekaan setelah diproklamasikan ? Kita
tidak akan mendapat bantuan dari Jepang atau Sekutu. Coba bayangkan, bagaimana
kita akan tegak di atas kekuatan sendiri “. Demikian jawab Bung Karno
dengan tenang.
Para pemuda, tetap menuntut agar
Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan. Namun, kedua tokoh itu pun,
tetap pada pendiriannya semula. Setelah berulangkali didesak oleh para pemuda,
Bung Karno menjawab bahwa ia tidak bisa memutuskannya sendiri, ia harus
berunding dengan para tokoh lainnya. Utusan pemuda mempersilahkan Bung Karno
untuk berunding. Para tokoh yang hadir pada waktu itu antara lain, Mohammad
Hatta, Soebardjo, Iwa Kusumasomantri, Djojopranoto, dan Sudiro. Tidak lama
kemudian, Hatta menyampaikan keputusan, bahwa usul para pemuda tidak dapat
diterima dengan alasan kurang perhitungan serta kemungkinan timbulnya banyak
korban jiwa dan harta. Mendengar penjelasan Hatta, para pemuda nampak tidak
puas. Mereka mengambil kesimpulan yang menyimpang; menculik Bung Karno dan Bung
Hatta dengan maksud menyingkirkan kedua tokoh itu dari pengaruh Jepang.
Pukul 04.00 dinihari, tanggal 16
Agustus 1945, Soekarno dan Hatta oleh sekelompok pemuda dibawa ke Rengasdengklok. Aksi “penculikan” itu sangat
mengecewakan Bung Karno, sebagaimana dikemukakan Lasmidjah Hardi ( 1984:60 ).
Bung Karno marah dan kecewa, terutama karena para pemuda tidak mau mendengarkan
pertimbangannya yang sehat. Mereka menganggap perbuatannya itu sebagai tindakan
patriotik. Namun, melihat keadaan dan situasi yang panas, Bung Karno tidak
mempunyai pilihan lain, kecuali mengikuti kehendak para pemuda untuk dibawa ke
tempat yang mereka tentukan. Fatmawati istrinya, dan Guntur yang pada waktu itu
belum berumur satu tahun, ia ikut sertakan.
Rengasdengklok kota kecil dekat
Karawang dipilih oleh para pemuda untuk mengamankan Soekarno-Hatta dengan
perhitungan militer; antara anggota PETA ( Pembela Tanah Air ) Daidan Purwakarta
dengan Daidan Jakarta telah terjalin hubungan erat sejak mereka mengadakan
latihan bersama-sama. Di samping itu, Rengasdengklok letaknya terpencil sekitar
15 km. dari Kedunggede Karawang. Dengan demikian, deteksi dengan mudah
dilakukan terhadap setiap gerakan tentara Jepang yang mendekati Rengasdengklok,
baik yang datang dari arah Jakarta maupun dari arah Bandung atau Jawa Tengah.
Sehari penuh, Soekarno dan Hatta
berada di Rengasdengklok. Maksud para pemuda untuk menekan mereka, supaya
segera melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan terlepas dari segala kaitan dengan
Jepang, rupa-rupanya tidak membuahkan hasil. Agaknya keduanya memiliki wibawa
yang cukup besar. Para pemuda yang membawanya ke Rengasdengklok, segan untuk
melakukan penekanan terhadap keduanya. Sukarni dan kawan-kawannya, hanya dapat
mendesak Soekarno-Hatta untuk menyatakan proklamasi secepatnya seperti yang
telah direncanakan oleh para pemuda di Jakarta . Akan tetapi, Soekarno-Hatta
tidak mau didesak begitu saja. Keduanya, tetap berpegang teguh pada perhitungan
dan rencana mereka sendiri. Di sebuah pondok bambu berbentuk panggung di tengah
persawahan Rengasdengklok, siang itu terjadi perdebatan panas; ” Revolusi
berada di tangan kami sekarang dan kami memerintahkan Bung, kalau Bung tidak
memulai revolusi malam ini, lalu …”. ” Lalu apa ?” teriak Bung Karno
sambil beranjak dari kursinya, dengan kemarahan yang menyala-nyala. Semua
terkejut, tidak seorang pun yang bergerak atau berbicara.
Waktu suasana tenang kembali.
Setelah Bung Karno duduk. Dengan suara rendah ia mulai berbicara; ” Yang
paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang tepat. Di
Saigon, saya sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal
17 “. ” Mengapa justru diambil tanggal 17, mengapa tidak sekarang saja,
atau tanggal 16 ?” tanya Sukarni. ” Saya seorang yang percaya pada
mistik”. Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal
17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku,
bahwa itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita
sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti
saat yang paling suci bagi kita. tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu
Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Al-Qur’an diturunkan tanggal 17,
orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah
buatan manusia “. Demikianlah antara lain dialog antara Bung Karno dengan
para pemuda di Rengasdengklok sebagaimana ditulis Lasmidjah Hardi ( 1984:61 ).
Sementara itu, di Jakarta, antara
Mr. Ahmad Soebardjo dari golongan tua dengan Wikana dari golongan muda
membicarakan kemerdekaan yang harus dilaksanakan di Jakarta . Laksamana Tadashi
Maeda, bersedia untuk menjamin keselamatan mereka selama berada di rumahnya.
Berdasarkan kesepakatan itu, Jusuf Kunto dari pihak pemuda, hari itu juga
mengantar Ahmad Soebardjo bersama sekretaris pribadinya, Sudiro, ke
Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno dan Hatta. Rombongan penjemput tiba di
Rengasdengklok sekitar pukul 17.00. Ahmad Soebardjo memberikan jaminan, bahwa
Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945,
selambat-lambatnya pukul 12.00. Dengan jaminan itu, komandan kompi PETA
setempat, Cudanco Soebeno, bersedia melepaskan Soekarno dan Hatta
kembali ke Jakarta ( Marwati Djoened Poesponegoro, ed. 1984:82-83 ).
Merumuskan Teks Proklamasi
Kemerdekaan
Rombongan Soekarno-Hatta tiba di
Jakarta sekitar pukul 23.00. Langsung menuju rumah Laksamana Tadashi Maeda di
Jalan Imam Bonjol No.1, setelah lebih dahulu menurunkan Fatmawati dan putranya
di rumah Soekarno. Rumah Laksamada Maeda, dipilih sebagai tempat penyusunan
teks Proklamasi karena sikap Maeda sendiri yang memberikan jaminan keselamatan
pada Bung Karno dan tokoh-tokoh lainnya. De Graff yang dikutip Soebardjo (
1978:60-61 ) melukiskan sikap Maeda seperti ini. Sikap dari Maeda tentunya
memberi kesan aneh bagi orang-orang Indonesia itu, karena perwira Angkatan Laut
ini selalu berhubungan dengan rakyat Indonesia.
Sebagai seorang perwira Angkatan
Laut yang telah melihat lebih banyak dunia ini dari rata-rata seorang perwira
Angkatan Darat , ia mempunyai pandangan yang lebih tepat tentang keadaan dari
orang-orang militer yang agak sempit pikirannya. Ia dapat berbicara dalam
beberapa bahasa. Ia adalah pejabat yang bertanggungjawab atas Bukanfu di
Batavia; kantor pembelian Angkatan Laut di Indonesia. Ia tidak khusus membatasi
diri hanya pada tugas-tugas militernya saja, tetapi agar dirinya dapat terbiasa
dengan suasana di Jawa , ia membentuk suatu kantor penerangan bagi dirinya di
tempat yang sama yang pimpinannya dipercayakan kepada Soebardjo. Melalui kantor
inilah, yang menuntut biaya yang tidak sedikit baginya, ia mendapatkan
pengertian tentang masalah-masalah di Jawa lebih baik dari yang didapatnya dari
buletin-buletin resmi Angkatan Darat. Terlebih-lebih ia memberanikan diri untuk
mendirikan asrama-asrama bagi nasionalis-nasionalis muda Indonesia .
Pemimpin-pemimpin terkemuka, diperbantukan sebagai guru-guru untuk mengajar di
asrama itu. Doktrin-doktrin yang agak radikal dipropagandakan. Lebih lincah
dari orang-orang militer, ia berhasil mengambil hati dari banyak nasionalis
yang tahu pasti bahwa keluhan-keluhan dan keberatan-keberatan mereka selalu
bisa dinyatakan kepada Maeda. Sikap Maeda seperti inilah yang memberikan
keleluasaan kepada para tokoh nasionalis untuk melakukan aktivitas yang maha
penting bagi masa depan bangsanya.
Malam itu, dari rumah Laksamana
Maeda, Soekarno dan Hatta ditemani Laksamana Maeda menemui Somobuco (
kepala pemerintahan umum ), Mayor Jenderal Nishimura, untuk menjajagi sikapnya
mengenai pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Nishimura mengatakan bahwa karena
Jepang sudah menyatakan menyerah kepada Sekutu, maka berlaku ketentuan bahwa
tentara Jepang tidak diperbolehkan lagi mengubah status quo . Tentara
Jepang diharuskan tunduk kepada perintah tentara Sekutu. Berdasarkan garis kebi
jakan itu, Nishimura melarang Soekarno-Hatta mengadakan rapat PPKI dalam
rangka pelaksanaan Proklamasi Kemerde kaan. Melihat kenyataan ini,
Soekarno-Hatta sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi untuk
membicarakan soal kemerdekaan Indonesia dengan Jepang. Mereka hanya berharap
agar pihak Jepang tidak menghalang-ha langi pelaksanaan proklamasi
kemerdekaan oleh rakyat Indonesia sendiri ( Hatta, 1970:54-55 ).
Setelah pertemuan itu, Soekarno dan
Hatta kembali ke rumah Laksamana Maeda. Di ruang makan rumah Laksamana Maeda
itu dirumuskan teks proklamasi kemerdekaan. Maeda, sebagai tuan rumah,
mengundurkan diri ke kamar tidurnya di lantai dua ketika peristiwa bersejarah
itu berlangsung. Miyoshi, orang kepercayaan Nishimura, bersama Sukarni, Sudiro,
dan B.M. Diah menyaksikan Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo membahas rumusan
teks Proklamasi. Sedangkan tokoh-tokoh lainnya, baik dari golongan tua maupun
dari golongan pemuda, menunggu di serambi muka.
Menurut Soebardjo ( 1978:109 ) di
ruang makan rumah Laksamana Maeda menjelang tengah malam, rumusan teks
Proklamasi yang akan dibacakan esok harinya disusun. Soekarno menuliskan konsep
proklamasi pada secarik kertas. Hatta dan Ahmad Soebardjo menyumbangkan pikirannya
secara lisan. Kalimat pertama dari teks Proklamasi merupakan saran Ahmad
Soebardjo yang diambil dari rumusan Dokuritsu Junbi Cosakai , sedangkan
kalimat terakhir merupakan sumbangan pikiran Mohammad Hatta. Hatta menganggap
kalimat pertama hanyalah merupakan pernyataan dari kemauan bangsa Indonesia
untuk menentukan nasibnya sendiri, menurut pendapatnya perlu ditambahkan
pernyataan mengenai pengalihan kekuasaan ( transfer of sovereignty ). Maka
dihasilkanlah rumusan terakhir dari teks proklamasi itu.
Setelah kelompok yang menyendiri di
ruang makan itu selesai merumuskan teks Proklamasi, kemudian mereka menuju
serambi muka untuk menemui hadirin yang berkumpul di ruangan itu. Saat itu,
dinihari menjelang subuh. Jam menunjukkan pukul 04.00, Soekarno mulai membuka
pertemuan itu dengan membacakan rumusan teks Proklamasi yang masih merupakan
konsep. Soebardjo ( 1978:109-110 ) melukiskan suasana ketika itu: “ Sementara
teks Proklamasi ditik, kami menggunakan kesempatan untuk mengambil makanan dan
minuman dari ruang dapur, yang telah disiapkan sebelumnya oleh tuan rumah kami
yang telah pergi ke kamar tidurnya di tingkat atas. Kami belum makan apa-apa,
ketika meninggalkan Rengasdengklok. Bulan itu adalah bulan suci Ramadhan dan
waktu hampir habis untuk makan sahur, makan terakhir sebelum sembahyang subuh.
Setelah kami terima kembali teks yang telah ditik, kami semuanya menuju ke
ruang besar di bagian depan rumah. Semua orang berdiri dan tidak ada kursi di
dalam ruangan. Saya bercampur dengan beberapa anggota Panitia di tengah-tengah
ruangan. Sukarni berdiri di samping saya. Hatta berdiri mendampingi Sukarno
menghadap para hadirin . Waktu menunjukkan pukul 04.00 pagi tanggal 17
Agustus 1945, pada saat Soekarno membuka pertemuan dini hari itu dengan
beberapa patah kata.
“Keadaan yang mendesak telah
memaksa kita semua mempercepat pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Rancangan
teks telah siap dibacakan di hadapan saudara-saudara dan saya harapkan benar
bahwa saudara-saudara sekalian dapat menyetujuinya sehingga kita dapat berjalan
terus dan menyelesaikan pekerjaan kita sebelum fajar menyingsing“. Kepada
mereka yang hadir, Soekarno menyarankan agar bersama-sama menandatangani naskah
proklamasi selaku wakil-wakil bangsa Indonesia . Saran itu diperkuat oleh
Mohammad Hatta dengan mengambil contoh pada “Declaration of Independence ” Amerika
Serikat. Usul itu ditentang oleh pihak pemuda yang tidak setuju kalau
tokoh-tokoh golongan tua yang disebutnya “budak-budak Jepang” turut
menandatangani naskah proklamasi. Sukarni mengusulkan agar penandatangan naskah
proklamasi itu cukup dua orang saja, yakni Soekarno dan Mohammad Hatta atas
nama bangsa Indonesia . Usul Sukarni itu diterima oleh hadirin.
Naskah yang sudah diketik oleh
Sajuti Melik, segera ditandatangani oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Persoalan
timbul mengenai bagaimana Proklamasi itu harus diumumkan kepada rakyat di
seluruh Indonesia , dan juga ke seluruh pelosok dunia. Di mana dan dengan cara
bagaimana hal ini harus diselenggarakan? Menurut Soebardjo ( 1978:113 ), Sukarni
kemudian memberitahukan bahwa rakyat Jakarta dan sekitarnya, telah diserukan
untuk datang berbondong-bondong ke lapangan
IKADA pada tanggal 17 Agustus untuk mendengarkan Proklamasi
Kemerdekaan. Akan tetapi Soekarno menolak saran Sukarni. ” Tidak ,” kata
Soekarno, ” lebih baik dilakukan di tempat kediaman saya di Pegangsaan
Timur. Pekarangan di depan rumah cukup luas untuk ratusan orang. Untuk apa kita
harus memancing-mancing insiden ? Lapangan IKADA adalah lapangan umum.
Suatu rapat umum, tanpa diatur sebelumnya dengan penguasa-penguasa militer,
mungkin akan menimbulkan salah faham. Suatu bentrokan kekerasan antara rakyat
dan penguasa militer yang akan membubarkan rapat umum tersebut, mungkin akan
terjadi. Karena itu, saya minta saudara sekalian untuk hadir di Pegangsaan
Timur 56 sekitar pukul 10.00 pagi .” Demikianlah keputusan terakhir dari
pertemuan itu.
Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia
Hari Jumat di bulan Ramadhan, pukul
05.00 pagi, fajar 17 Agustus 1945 memancar di ufuk timur. Embun pagi masih
menggelantung di tepian daun. Para pemimpin bangsa dan para tokoh pemuda keluar
dari rumah Laksamana Maeda, dengan diliputi kebanggaan setelah merumuskan teks
Proklamasi hingga dinihari. Mereka, telah sepakat untuk memproklamasikan
kemerdekaan bangsa Indonesia hari itu di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur
No. 56 Jakarta, pada pukul 10.00 pagi. Bung Hatta sempat berpesan kepada para
pemuda yang bekerja pada pers dan kantor-kantor berita, untuk memperbanyak
naskah proklamasi dan menyebarkannya ke seluruh dunia ( Hatta, 1970:53 ).
Menjelang pelaksanaan Proklamasi
Kemerdekaan, suasana di Jalan Pegangsaan Timur 56 cukup sibuk. Wakil Walikota,
Soewirjo, memerintahkan kepada Mr. Wilopo untuk mempersiapkan peralatan yang
diperlukan seperti mikrofon dan beberapa pengeras suara. Sedangkan Sudiro
memerintahkan kepada S. Suhud untuk mempersiapkan satu tiang bendera. Karena
situasi yang tegang, Suhud tidak ingat bahwa di depan rumah Soekarno itu, masih
ada dua tiang bendera dari besi yang tidak digunakan. Malahan ia mencari
sebatang bambu yang berada di belakang rumah. Bambu itu dibersihkan dan diberi
tali. Lalu ditanam beberapa langkah saja dari teras rumah. Bendera yang dijahit
dengan tangan oleh Nyonya Fatmawati Soekarno sudah disiapkan. Bentuk dan ukuran
bendera itu tidak standar, karena kainnya berukuran tidak sempurna. Memang,
kain itu awalnya tidak disiapkan untuk bendera.
Sementara itu, rakyat yang telah
mengetahui akan dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan telah berkumpul. Rumah
Soekarno telah dipadati oleh sejumlah massa pemuda dan rakyat yang berbaris
teratur. Beberapa orang tampak gelisah, khawatir akan adanya pengacauan dari
pihak Jepang. Matahari semakin tinggi, Proklamasi belum juga dimulai. Waktu itu
Soekarno terserang sakit, malamnya panas dingin terus menerus dan baru tidur
setelah selesai merumuskan teks Proklamasi. Para undangan telah banyak
berdatangan, rakyat yang telah menunggu sejak pagi, mulai tidak sabar lagi.
Mereka yang diliputi suasana tegang berkeinginan keras agar Proklamasi segera
dilakukan. Para pemuda yang tidak sabar, mulai mendesak Bung Karno untuk segera
membacakan teks Proklamasi. Namun, Bung Karno tidak mau membacakan teks
Proklamasi tanpa kehadiran Mohammad Hatta. Lima menit sebelum acara dimulai,
Mohammad Hatta datang dengan pakaian putih-putih dan langsung menuju kamar
Soekarno. Sambil menyambut kedatangan Mohammad Hatta, Bung Karno bangkit dari
tempat tidurnya, lalu berpakaian. Ia juga mengenakan stelan putih-putih. Kemudian
keduanya menuju tempat upacara.
Marwati Djoened Poesponegoro (
1984:92-94 ) melukiskan upacara pembacaan teks Proklamasi itu. Upacara itu
berlangsung sederhana saja. Tanpa protokol. Latief Hendraningrat, salah seorang
anggota PETA,
segera memberi aba-aba kepada seluruh barisan pemuda yang telah menunggu sejak
pagi untuk berdiri. Serentak semua berdiri tegak dengan sikap sempurna. Latief
kemudian mempersilahkan Soekarno dan Mohammad Hatta maju beberapa langkah
mendekati mikrofon. Dengan suara mantap dan jelas, Soekarno mengucapkan pidato
pendahuluan singkat sebelum membacakan teks proklamasi.
Pembacaan Teks Proklamasi Indonesia
“Saudara-saudara sekalian ! saya
telah minta saudara hadir di sini, untuk menyaksikan suatu peristiwa maha
penting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah
berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun.
Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya ada
turunnya. Tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita. Juga di dalam jaman
Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti. Di dalam
jaman Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi
pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri. Tetap kita percaya
pada kekuatan sendiri. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil
nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya
bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri
dengan kuatnya. Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarah dengan
pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia , permusyawaratan itu
seia-sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan
kemerdekaan kita.
Saudara-saudara! Dengan ini kami
menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah Proklamasi kami: PROKLAMASI; Kami
bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia . Hal-hal yang
mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara
seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta , 17 Agustus 1945.
Atas nama bangsa Indonesia Soekarno/Hatta.
Teks Proklamasi Indonesia
Demikianlah saudara-saudara! Kita
sekarang telah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita
dan bangsa kita! Mulai saat ini kita menyusun Negara kita! Negara Merdeka.
Negara Republik Indonesia merdeka, kekal, dan abadi. Insya Allah, Tuhan
memberkati kemerdekaan kita itu“.
( Koesnodiprojo, 1951 ).
Acara, dilanjutkan dengan pengibaran
bendera Merah Putih. Soekarno dan Hatta maju
beberapa langkah menuruni anak tangga terakhir dari serambi muka, lebih kurang
dua meter di depan tiang. Ketika S. K. Trimurti diminta maju untuk mengibarkan
bendera, dia menolak: ” lebih baik seorang prajurit ,” katanya. Tanpa
ada yang menyuruh, Latief Hendraningrat yang berseragam PETA berwarna hijau
dekil maju ke dekat tiang bendera. S. Suhud mengambil bendera dari atas baki
yang telah disediakan dan mengikatnya pada tali dibantu oleh Latief
Hendraningrat.
Pengibaran Sang Saka Merah Putih
Bendera dinaikkan perlahan-lahan.
Tanpa ada yang memimpin, para hadirin dengan spontan menyanyikan lagu Indonesia
Raya. Bendera dikerek dengan lambat sekali, untuk menyesuaikan
dengan irama lagu Indonesia Raya yang cukup panjang. Seusai pengibaran bendera,
dilanjutkan dengan pidato sambutan dari Walikota Soewirjo dan dr. Muwardi.
Setelah upacara pembacaan Proklamasi
Kemerdekaan, Lasmidjah Hardi ( 1984:77 ) mengemukakan bahwa ada sepasukan
barisan pelopor yang berjumlah kurang lebih 100 orang di bawah pimpinan S.
Brata, memasuki halaman rumah Soekarno. Mereka datang terlambat. Dengan suara
lantang penuh kecewa S. Brata meminta agar Bung Karno membacakan Proklamasi
sekali lagi. Mendengar teriakan itu Bung Karno tidak sampai hati, ia keluar
dari kamarnya. Di depan corong mikrofon ia menjelaskan bahwa Proklamasi hanya
diucapkan satu kali dan berlaku untuk selama-lamanya. Mendengar keterangan itu
Brata belum merasa puas, ia meminta agar Bung Karno memberi amanat singkat.
Kali ini permintaannya dipenuhi. Selesai upacara itu rakyat masih belum mau
beranjak, beberapa anggota Barisan
Pelopor masih duduk-duduk bergerombol di depan kamar Bung Karno.
Tidak lama setelah Bung Hatta
pulang, menurut Lasmidjah Hardi (1984:79) datang tiga orang pembesar Jepang.
Mereka diperintahkan menunggu di ruang belakang, tanpa diberi kursi. Sudiro
sudah dapat menerka, untuk apa mereka datang. Para anggota Barisan Pelopor
mulai mengepungnya. Bung Karno sudah memakai piyama ketika Sudiro masuk,
sehingga terpaksa berpakaian lagi. Kemudian terjadi dialog antara utusan Jepang
dengan Bung Karno: ” Kami diutus oleh Gunseikan Kakka, datang kemari untuk
melarang Soekarno mengucapkan Proklamasi .” ” Proklamasi sudah saya
ucapkan,” jawab Bung Karno dengan tenang. ” Sudahkah ?” tanya utusan
Jepang itu keheranan. ” Ya, sudah !” jawab Bung Karno. Di sekeliling
utusan Jepang itu, mata para pemuda melotot dan tangan mereka sudah diletakkan
di atas golok masing-masing. Melihat kondisi seperti itu, orang-orang Jepang
itu pun segera pamit. Sementara itu, Latief Hendraningrat tercenung memikirkan
kelalaiannya. Karena dicekam suasana tegang, ia lupa menelpon Soetarto dari PFN
untuk mendokumentasikan peristiwa itu. Untung ada Frans Mendur dari IPPHOS yang
plat filmnya tinggal tiga lembar ( saat itu belum ada rol film ). Sehingga dari
seluruh peristiwa bersejarah itu, dokumentasinya hanya ada 3 ( tiga ) ; yakni
sewaktu Bung Karno membacakan teks Proklamasi, pada saat pengibaran bendera,
dan sebagian foto hadirin yang menyaksikan peristiwa yang sangat bersejarah
itu.