Masa Demokrasi Liberal
tahun 1950 menimbulkan ketidak stabilan dalam bidang politik. Kemudian pada
tahun 1955 diadakan pernilihan umum, namun Pemilu tersebut tidak berhasil
menghilangkan pertentangan‑pertentangan politik. Oleh karena itu beberapa
daerah muncul suara - suara menuntut otonomi yang luas, karena tidak ada
keseirnbangan antara daerah dengan pusat dan daerah merasa dianaktirikan oleh
pemerintah pusat terutarna dalam bidang pernbangunan.
Dalam keadaan yang
demikian itu bekas Divisi Banteng mengadakan reuni di Padang pada tanggal 20 ‑
24 Nopernber 1956. Hasil reuni tersebut terbentuklah Dewan Banteng yang diketuai
oleh Letkol Ahmad Husein. Dengan terbentuknya Dewan Banteng yang bertendensi
politik, maka KSAD melarang perwira‑perwira AD melakukan kegiatan di bidang
politik. Tetapi larangan itu bahkan disambut oleh ketua Dewan Benteng dengan
mengambil alih pemerintahan Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Muloharjo,
dengan dalih tidak mampu melaksanakan pembangunan.
Kegiatan di Sumatera
Tengah itu diikuti oleh Sumatera Timur yaitu Ketua Dewan Gajah mengambil alih
semua kekuasaan yang ada dalam wilayah TNI kemudian Sumatera Selatan terjadi
kegiatan ‑ kegiatan yang sama. Setelah diadakan Konferensi Dinas Pemerintahan
Sumatera Selatan lahirlah Garuda. Kemudian Panglima TNI Letnan Kolonel Barlian
mengambil alih pemerintahan Sumatera Pusat, mengadakan musyawarah pembangunan
nasional untuk memecahkan persoalan secara terbuka. Namun usaha pernerintah
tersebut tidak diterima, bahkan gerakan kedaerahan yang bersifat sparatis terus
berlangsung yang akhirnya menjurus menjadi pernberontakan.
Pemberontakan makin
memuncak dengan proklamasi pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)
pada tanggal 15 Pebruari 1958 oleh Ahmad Husein, Kolonel Dahlan Jombek dan
Kolonel Simbolon. Kemudian untuk mengatasi pernberontakan tersebut pemerintah
bersikap tegas dengan melakukan Operasi militer. Perwira yang terlibat seperti
Letkol Ahmad Husein, Kolonel Dahlan Jombek, Kolonel Siimbolon diberhentikan
dengan tidak hormat.
Operasi gabungan yang
dilaksanakan yaitu Operasi Tegas (Untuk Daerah Riau), Operasi 17 Agustus (Untuk
Sumatera Barat), Operasi Sapta Marga (untuk Sumatera Timur) dan Operasi Sadar
(untuk Sumatera Selatan). Operasi 17 Agustus yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad
Yani ditujukan kedaerah Sumatera Barat dengan sasaran merebut pusat militer
lawan di Padang dan pusat pernerintahan di Bukit Tinggi. Dari Kodam VII/
Diponegoro mengiriinkan Yon ‑ 438 dan Yon ‑ 440. Dengan operasi tersebut maka
kota Padang dan Bukit Tinggi dapat dikuasai dan diduduki. Dengan jatuhnya Bukit
Tinggi selesailah operasi pernbersihan dan teritorial. Dengan demikian tokoh‑tokoh
PRRI melarikan diri ke hutan‑hutan dan pada pertengahan tahun 1961 mereka
menyerah sesuai dengan anjuran pemnerintah.
Kericuhan yang terjadi
tidak hanya terbatas di daerah Sumatera saja, tetapi menjalar pula ke daerah ‑
daerah lain. Di Sulawesi Utara lahir Dewan Menghuni, kegiatan selanjutnya ialah
panglima TNI/VII Letkol Fanco Samuel mengadakan pertemuan dengan staf dan
perwira ‑ perwira. Perternuan menghasilkan konsensi mengenai cara ‑ cara untuk
mengatasi ketegangan dalam kehidupan kenegaraan, maka tanggung jawab wilayah
dan pasukan harus berada dalam satu tangan yaitu panglima TT. Kemudian diadakan
rapat lagi pada tanggal 2 Maret 1957 di Kantor Gebenuran Makasar (Ujungpandang)
dihadiri oleh tokoh ‑ tokoh sipil dan militer. Hasil dari perternuan adalah
Piagam perjuangan semesta ( Permesta ).
Sementara itu Letkol Dj.
Somba Komandan KDMST menyatakan bahwa Sulawesi Utara memutuskan hubungan dengan
pemerintah pusat. Atas tindakan tersebut kemudian pernerintah memutuskan untuk
memecat dengan tidak hormat Letkol Vance Samuel, Letkol Dj. Somba dan Mayor D.
Punturambi serta perwira lainnya.
Pemberontakan Permesta
ditindak tegas dan dihadapi dengan kekuatan militer oleh pemerintah pusat serta
alat negara dan rakyat setempat yang setia kepada Republik Indonesia. Dalam
rangka penumpasan pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara tersebut kodam
VII/Diponegoro mengirimkan Batalyon Inf ‑ 432 dalam Operasi Merdeka.
Sebelum operasi pokok
dilaksanakan, maka di Sulawesi Tengah telah dilaksanakan operasi "Insyaf”
yang dikoordinasi oleh Komando antar Daerah Indonesia Timur (Komandat). Operasi
tidak mengetahui hambatan dan dapat merebut dan menduduki kota. Setelah masing‑masing
Komando operasi berhasil menguasai daerah sasaran, maka dimulai gerakan ke
sasaran pokok yaitu Manado, untuk merebut Sulawesi Utara dan kota Manado.
Manado telah dikepung dari segala penjuru. Serangan mulai dilancarkan pada
tanggal 16 Juni 1958 dan sepuluh hari kemudian kota Manado dapat diduduki.
Pada bulan Agustus 1958
kekuatan pokok Permesta sudah lumpuh. Namun demikian gerakan penumpasan
terhadap sisa‑sisa pasukan Permesta tetap berjedan dan operasi tersebut
dilaksanakan dengan operasi pembersihan dan teritorial. Dalam opeasi itu tokoh ‑
tokoh Permesta tertangkap dan sisa ‑ sisa pasukannya menyerahkan diri sesuai
dengan seruan pemerintah.
Tugas @gustuputra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar