11
Februari 1899 atau 109 tahun lalu, bertepatan bulan Ramadhan, Teuku Umar
tersungkur jatuh dihantam peluru Belanda di Suak Ujong Kalak, Meulaboh, saat
para pejuang sedang menunaikan sahur, beliau langsung roboh dan syahid dalam
usia yang sangat produktif yaitu 45 tahun, seluruh pasukan kacau balau, sebuah
takdir dan ketetapan Allah berlaku. Menurut beberapa sumber kematian tersebut
disebabkan peluru yang bersarang di dada sebelah kiri dan juga di usus besar.
Jenazah Ampon Meulaboh
dibawa lari, ada versi mengatakan pelarian melalui Pucok Lueng, Suak Raya tepatnya di dusun
—kemudian diberi nama Dusun Kubah Pahlawan, terus dilarikan ke Rantau Panyang –
Pocut Reudep – Pasi Meungat dimana beliau sempat dikuburkan selama 6 bulan
disamping sang ibunda dan takut diketahui Belanda kemudian dibongkar lagi dan
dibawa ke Gunong Cot Manyang dikuburkan 8 bulan dan terakhir dikebumikan di
Meugo (sumber Teuku Tjut Yatim dan Teuku Usman Basyah Asisten I Setdakab Aceh
Barat, turunan ketiga dari Teuku Umar).
Di Aceh Barat dan Aceh umumnya, banyak pihak menyakini Teuku
Umar langsung syahid di Suak Ujong Kalak dan ini diperkuat oleh penuturan
Almarhum Teuku Raja Syahbandar yang ketika masih remaja ikut rombongan Teuku
Umar dan kemudian dituturkan kepada Teuku Daud dan HT-Al-Amin Kaan.
Kuburan Teuku Johan Pahlawan mantan Panglima Perang Besar
Gubernemen Hindia Belanda baru diketahui langsung tanggal 1 Nopember 1917 atau
18 tahun setelah ia mangkat. Seorang pegawai purbakala Belanda atau
Oudheidskunddigendienst, J.J.De Vink melihat kuburan Teuku Umar setelah
mendapat izin Teuku Chik Ali Akbar (Uleebalang Kaway XVI) dan Teuku Panyang,
Ulee Balang Meugo, dengan syarat kuburan tersebut tidak diganggu lagi
Begitu lama rakyat Aceh melindungi dan menjaga kuburannya untuk memberikan
ketidak-kepastian tentang syahid panglima besar ini serta menjaga stamina
pejuang lainnya. Sebaliknya Belanda terpaksa patroli dan kesiagaan yang terus
menerus sampai memperoleh kepastian tentang syahidnya Teuku Umar (Perang
Kolonial Belanda di Aceh, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh)
Dilahirkan 1854 (tanggal dan bulan tidak diketahui) di Meulaboh,
tepatnya di Gampong Mesjid, sekarang Gampong Belakang, Kecamatan Johan Pahlawan
atau sekitar 100 meter dari Mesjid Nurul Huda sekarang, ia lahir dari seorang
ayah yang bernama Teuku Cut Mahmud (kuburan di sekitar Keutapang Wangi Gampong
Belakang) dan ibu Cut Meuhani (makam di Pasi Mesjid)
Beberapa Sumber menyatakan Teuku Umar sudah memanggul senjata
dan bertempur melawan Belanda sejak usia 19 tahun ketika dimulainya agresi
Belanda pertama pada tahun 1873 yang dipimpin Kohler sebagai utusan salah satu
gampong dan karir militer Panglima Laut Barat ini berakhir 1899 saat tertembak
kerika kerinduannya memuncak pada kampung halaman di Meulaboh di sela-sela
pengejaran oleh pihak Belanda.
Banyak pihak bersepkulasi, ada apa gerangan Umar ingin ke
Meulaboh? Adakah kerinduan itu semata-mata? Ataukah ada maksud lain, sebuah
sumber menyatakan kedatangannya untuk mengepung dan menyerang tangsi militer
Belanda di Meulaboh dan ia ingin sekali membunuh dan menangkap Van Heutsz yang
sedang berada di sana, persiapan penyerangan dipusatkan di Lhok Bubon dan
melalui pantai Suak Ujong Kalak, namun Van Heuzt punya siasat siapa tahu Umar
ada di sana dan ia memerintahkan komandan lapangan yang bernama Let I JJ
Verburg untuk menyerang.
Dua puluh enam tahun membangun karir berbahaya, bersahabat dan
bertempur, memanfaatkan Belanda untuk mempersenjatai pasukannya dengan
alat-alat modern di waktu itu, dan Teuku Umar telah membangun hubungan dengan
Belanda dalam bentuk persahabatan dan sekaligus permusuhan.
Teuku Umar seorang pahlawan nasional, namanya diabadikan
seantataro negeri, dari jalan sampai dengan kesatuan militer, sejarahnya
diajarkan di sekolah-sekolah, setiap 11 Februari wafatnya diperingati, namun,
generasi muda sering disuguhkan terutama di Meulaboh sejarah setelah beliau
syahid, drama yang pernah dipentaskan di Suak Ujong Kalak adalah bagaimana ia
tertembak, bukan bagaimana ia berjuang, baru-baru ini, kajian yang tidak
mendalam dan duga-duga mencoba menelusuri tempat ia pernah dimakamkan.
Teuku Umar fenomena menarik, hubungannya dengan Belanda berjalan
fluktuatif, tergantung kepentingan : ia, Aceh dan kepentingan Belanda. Ia
satu-satu tokoh yang menyerah kemudian bertempur lagi melawan Belanda dan
syahid, ia adalah tokoh besar dimana Belanda, Sultan dan Pemerintah RI
menghormatinya. Belanda mengangkatnya sebagai Teuku Umar Johan Pahlawan
Panglima Perang Besar Gubernemen Kompeuni dengan tugas membantu Belanda
memadamkan pemberontakan di Aceh, Sultan memberikan gelar Amir Ul Bahar Bagian
Barat karena ia mengumpulkan dana dari penjualan lada namun tetap mengirimkan
kepada sultan yang sedang dalam pengasingan, Pemerintah RI mengangkatnya
sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1973 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor
No. 083/TK/1973 tanggal 6 Nopember 1973 (Majalah Yayasan Teuku Umar), karena ia
merintis sejarah, membuat Belanda tidak mudah dan sulit dalam menguasai Aceh.
(T Tjut Yatim seorang tokoh di Meulaboh mengatakan, Teuku Umar diangkat
pahlawan Nasional 1955 dengan Surat Keputusan Presiden Nomor 217/1955 dan
diperingati untuk pertama sekali tahun 1957 dan Cut Nyak Dhien diangkat jadi
pahlawan 1964 dengan Surat Keputusan Presiden Nomor 106 Tahun 1964 tanggal 2
Mei 1964
Mengapa Bekerjsama?
Sejak kecil saya bertanya, mengapa Teuku Umar diangkat menjadi pahlawan
nasional? Apa pertimbangannya? Apa yang dilakukannya sehingga ia layak menjadi
pahlawan nasional? Pertanyaan yang menyelimuti kepala saya itu, memaksa saya
membaca dan mendengar banyak kisah tentang Teuku Umar, Buku Paul Van Teer,
Perang Aceh yang diterbitkan Grafiti Pers, Zentggraaff tentang Perang Aceh,
Asal Mula Konflik Aceh (Anthony Reid) sumber keluarga dan digital, saya buru
untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan tersebut..
Namun, saya terkesima dengan catatan sejarah yang dibuat Panglima Tinggi
Penguasa Laot Bagian Barat Aceh ini. Dalam bukunya Perang Aceh, Paul Van Teer
menyatakan, Umar seorang pribadi yang unik, ia bisa hidup dengan gaya Eropah di
rumahnya, Lam Pisang yang dibangun oleh Belanda, kemudian dibakar oleh Belanda
sendiri 30 Maret 1896 karena Umar “berkhianat”
Teuku Umar mampu berkomunikasi dan menyerap informasi dalam
Belanda dan Inggris, hidup dengan gaya seorang baron dengan andalan pengaruh,
keseganan, kuasa, perdagangan lada dan pemurah di tengah-tengah pengikutnya
yang fanatik nan sejahtera, namun Umar juga bisa berperang bergerilya di
hutan-hutan Aceh, hidup dalam kesusahan, berperang bertelanjang kaki. Paul juga
mengatakan bahwa Umar pernah bercita-cita menjadi Sultan Aceh, ketika ia
mendapatkan kepercayaan penuh dari Belanda.
Pertanyaan seputar mengapa Teuku Umar mesti bekerjasama dengan
Belanda adalah pertanyaan yang sulit dijawab sebab jawaban tentunya hanya
diketahui oleh Teuku Umar sendiri, namun dalam perjalanan sejarahnya, saya
menemukan beberapa alasan.
Pertama kerjasama tersebut dalam upaya untuk mencari dan mendanai/meringankan
biaya perang bagi tokoh-tokoh dan kalangan istana Aceh dalam upaya melawan
Belanda. Ini terbukti bahwa Teuku Umar membagi hasil uang yang diperoleh dari
Belanda kepada Sultan dan panglima, Umar membentuk persektuan yang kuat dengan
Teungku Chik Kutakarang. mereka berdua sangat menentang kebijakan kelompok
gerilyawan pimpinan putra-putra Teungku Chik Di Tiro yaitu Mat Amin dan Teungku
Beb yang berusaha menegakkan hak sabil di XXV Mukim, karenanya Teungku
Kutakarang mengajarkan kepada muridnya yang juga ulama bahwa memerangi Teuku
Umar bukan dikategorikan perang suci. (Anthony Reid, Asal Usul Konflik Aceh).
Namun, saya meragukan adanya persaingan antara kelompok Umar
dengan keluarga Teungku Chik di Tiro. Ulama karismatik Tiro ini memang sering
mengingatkan Umar agar selalu memperhatikan perannnya dalam hubungan dengan
Belanda dan perang suci yang sedang Tiro lancarkan. Sebuah sumber disebutkan
bahwa anak Teuku Umar dengan Cut Nyak Dhien yang bernama Tjut Gambang
diperistri oleh Teungku Majet di Tiro yang merupakan anak dari Teungku Tiro
tua.
Umar juga dikenal sebagai tokoh yang membiayai perang dengan
menggunakan uangnya sendiri. Dengan dana yang bersumber dari ekpor lada, Umar
menguasai perdagangan lada dalam tangannya sendiri dan ia memunggut pajak dari
lada untuk daerah – daerah lainnya sebesar $ 0,25 per pikul atas nama sultan,
Kekayaan ini dengan murah hati dibagi-bagikannya kepada para
pengikut, istana, kaum ulama di Keumala yang sedang melakukan perlawanan
terhadap Belanda. Ia akhirnya dianugerahi pengakuan resmi oleh sultan sebagai
Amir ul bahar pantai barat (Asal Mula Konflik Aceh, Anthony Reid)
Kedua, Teuku Umar ingin memperkecil kontak tembak antara Belanda
yang dilengkapi senjata modern dengan para gerilyawan yang memiliki senjata
sangat terbatas. Peperangan antara kubu Sultan yang didukung sepenuhnya oleh
Panglima Polem, para ulama dan Ulee Balang di Mukim XXV dan XXVI telah memakan
banyak korban terutama di pihak Aceh.
Belanda terus melakukan upaya memperluas kekuasaannya di luar
lini konsentrasi, namun mereka juga menyadari bahwa biaya perang dan korban
dari pihak mereka juga tidak sedikit dan penguasaan daerah di luar lini
konsentrasi hanya bersifat semu, dengan kata lain cuma di sekitar pos yang
mereka bangun, Belanda berkuasa.
Kondisi ini dimanfaatkan Teuku Umar sebagai penghubung antara
kedua belah pihak namun dengan tetap memikirkan kepentingan pihak Aceh, dan
beberapa lama Umar berhasil menurunkan intensitas kontak tembak di daerah
tersebut, yang oleh Reid disebutkan tidak karena kemampuan militernya tetapi
karena caranya dalam mendekati para pejuang Aceh dan keluwesannya dalam
berhadapan dengan orang lain dan kemudian membujuk sebagian besar uleebalang
dan ulama yang paling terkemuka bahwa kepentingan mereka akan dijaga dengan
cara pura-pura setia kepada Belanda
Ketiga sebagai seorang yang terhormat di kalangan suku dan
rakyatnya, tidak mungkin ia mengandaikan kehormatan diri dan keluarganya kepada
Belanda hanya ingin mendapatkan keuntungan sesaat, justru kekuatan senjata Aceh
tidak seimbang dan personil yang tidak terlatih perlu dimodernkan dan dilatih.
Untuk memperoleh senjata yang modern maka salah satu cara yang paling efektif
mererbut hati Belanda sekaligus senjatanya,
Nisero dan Hok Canton
Seperti yang dikatakan Al-Quran, akhir hiduplah yang menentukan siapa manusia
yang sebenarnya, Umar bisa saja dianggap orang mengedepankan kepentingannya
dengan Belanda, ketika musim lada harus dijual, ia mencari celah mendekati
Belanda agar pengapalan ladanya tidak terganggu. Namun ketika ia dilecehkan
sebagai seorang pribumi Aceh yang mempunyai martabat dan harga diri, dengan tidak
segan-segan mengambil langkah mencerai Belanda sebagaimana ia tunjukan dalam
peristiwa Nisero.
Catatan harian seorang mualim III mesin kapal Nisero, William
Bradley mengatakan saat disandera oleh Teuku Imeum Muda Teunom (saingan berat
Teuku Umar) pada tanggal 8 November 1883, kapal uap milik Inggris yang berbobot
1800 Tons tersebut, dibawah nakhoda Capt. W.S. Woodhouse, terdampar di pantai
Kerajaan Teunom dekat Panga, pantai barat Aceh.
Berlayar dari Surabaya ke Marseille, dengan mengangkut gula
dengan awak kapal yang terdiri dari berbagai bangsa yaitu 10 Inggris, 2
Belanda, 2 Jerman, 2 Norwegia, 2 Italia dan satu Amerika. Saat terdampar di
pantai Teunom, mereka semua disandera oleh Raja Teunom dan dibawa ke pedalaman.
Raja meminta tebusan kendatipun ia telah menanda-tangani pengakuan kedaulatan
dibawah Belanda (korte verklaring).
Kejadian ini menyebabkan perseteruan diplomatik antara Belanda
dengan Inggris yang sangat marah kepada Belanda yang dianggap tidak mampu
menjaga keamanan di perairan Aceh. Kaitannya dengan Teuku Umar adalah secara
diam-diam Gubernur Laging Tobias telah mengirimkam pasukan militer yang terdiri
dari orang-orang Aceh yang telah bersahabat untuk membebaskan para sandera.
Sebagaiman yang dikutip Paul Van Teer, akhirnya Teuku Umar yang sebelumnya
telah menyatakan takluk kepada Belanda telah dipergunakan untuk memimpin
operasi militer ini.
Teuku Umar dengan pasukannya yang dibawa oleh kapal Belanda yang
bernama Bengkulen, diperlakukan sangat tidak enak. Ia harus tidur di geladak
seperti seorang kuli, diperlakukan secara tidak hormat, dimaki oleh kelasi
Belanda yang sedang mabuk.
Teuku Umar tersinggung dan tipikal Orang Aceh terhormat kertika
diremehkan oleh Belanda, dendamnya dipendamnya selama ia dan pasukannya di
kapal Belanda itu. Tetapi begitu Teuku Umar dengan pasukannya didaratkan oleh
sebuah sekoci di pantai Panga, maka semua awak kapal dari sekoci itu
dibunuhnya, dan Teuku Umar dengan pasukannya menyatukan diri dengan rakyat
Teunom.
Sukses besar Raja Imam Muda Teunom dalam menjadikan Kapal Nisero
sebagai pusat dan andalan dalam diplomasi internasional dan memperoleh
keuntungan yang besar dari tembusan, telah mendorong Teuku Umar untuk melakukan
hal sama terhadap kapal lain yang menjadi mitra dagangnya.
Pada tanggal 14 Juli 1886 Kapal Hok Canton, membuang sauh di
Pantai Rigah untuk berdagang seperti biasa dengan Teuku Umar. Kapal dinakhodai
Hansen ini bersauh di Rigah, sekitar 40 prajurit Teuku Umar menaiki kapal dan
menahan semua perwira berkebangsaan Eropah, termasuk Hansen bersama istrinya.
Dalam upaya penawanan, perwira Eropah melawan, dua orang ABK
tewas, sedangkan Hansen sendiri mengalami luka parah, kemudian meninggal dalam
tahanan beberapa hari kemudian, Ny Hansen dan perwira kamar mesin dua Foy yang
berbangsa Scotlandia ditawan oleh Teuku Umar, serta harta rampasan yang cukup
banyak diangkut ke darat
Penyanderaan Kapal Hok Canton oleh Teuku Umar ini, beberapa
catatan sejarah dipicu oleh sentimen pribadi kepada Hansen. Pada bulan Juni
1886 Teuku Umar hendak diculik oleh Hansen karena tergoda harga kepala Teuku
Umar senilai 25.000 ringgit yang dijanjikan Belanda atas tragedi yang ditimbul
Teuku Umar atas awak kapal Bengkulen dan ia meminta kepada Teuku Umar untuk
datang ke kapalnya untuk mengambil sendiri uang lada dan rencananya Hansen akan
menculik Teuku Meulaboh saat mengambil uang tersebut.
Namun, dugaan ingin mencapai kesuksesan sebagaimana yang
diperoleh saingan beratnya, Teuku Raja Imeum Muda Teunom mendapat untung dari
persitiwa Nisero dan ia ingin menggunakan Hok Canton untuk tujuan yang sama.
Penyanderaan Hok Canton menimbulkan reaksi dan suasana panas di
Penang untuk mengutuk Belanda sebagai penyebab keadaan tidak aman di Aceh.
Tidak sebagaimana kasus Nisero, Teuku Umar tidak dapat mengharap banyak untuk
simpati siapa pun, baik Pemerintah Inggris maupun pemerintah negara lain tidak
menaruh perhatian dalam persoalan ini.
Mengapa? Sebab Kapal Hok Canton kendatipun berpangkalan di
Penang, namun kapal tersebut didaftar di Ulee Lhee dengan demikian ia adalah
kapal Aceh. Karena itu Teuku Umar harus puas dengan tebusan dari Belanda
sebesar $ 25.000,-
Khianati Belanda
Snouck Hurgronje mmemanfaatkan kedudukan Gubernur Jenderal yang baru yaitu
Jhr.C.H.A Van der Wijck yang diangkat Oktober 1893 untuk mengizinkan Kolonel
Deijkerhoff untuk memanfaatkan dengan penuh kehati-hatian Teuku Umar yang telah
menyerah pada akhir bulan September 1893. Penyerahan diri Teuku Umar dengan
pasukan dilakukan di depan Teuku Kadhi Malikul Ade di makam Teungku di Anjong,
Pelanggahan dekat Kuta Raja. Inilah awal dari apa yang dikatakan oleh
M.H.Szekely Lulofs sebaga De Oemar Comedie, sandiwara Teuku Oemar.
Umar diberi senjata dan uang untuk tugas membersihkan wilayah
XXV mukim dan XXVI mukim di luar garis pertahanan Belanda. Dan untuk memperkuat
pasukannya dalam memadamkan pemberotakan di Aceh Besar, tanggal 1 Januari 1894,
Umar menerima bantuan militer dari Belanda untuk membentuk legiun modern dalam
upaya memadamkan pemberontakan di segi tiga Aceh Besar, dengan kekuatan pasukan
modern dengan dilengkapi senjata 880 pucuk (bandingkan dengan penyerahan
senjata oleh GAM), amunisi 25.000 butir peluru, Umar telah memiliki sebuah
peralatan perang yang mencukupi dan sekaligus kepercayaan Belanda.
Pengkhiatan Teuku Umat ini, menyebabkan Dijkerhoof dicopot dan
digantikan dengan Lejen Vetter dan tanggal 26 April 1896 ia mengeluarkan
maklumat mencabut gelar kehormatan yang sudah dianuegrahkan sebagai Panglima
Besar Perang Kompeni, Johan Pahlawan, sebagai Ulee Balang Leupung dan menuntut
pengembalian senjata.
Ia bekerjasama dengan Belanda untuk memerangi terutama Lam Krak.
Namun pertanyaannya mengapa kemudian Teuku Umar memutuskan untuk kembali
berjuang bersama bangsa Aceh pada tahun 30 September 1896? Apa yang memotivasi
ia untuk cabut dan lari dari Belanda? Inilah yang oleh Belanda dicatat sebagai
Het Verraad Van Teuku Umar atau pengkhiatan Teuku Umar
Ada yang mengatakan bahwa Pertama, Cut Nyak Dhien lah yang
menjadi fokus yang menyebabkan Teuku Umar kembali berjuang di jalan Allah, Cut
Nyak Dhien, seorang wanita kokoh berprinsip, bepegang teguh kepada agama, ia
menyakin sepenuhnya kehidupan akhirat dan perjuangan suci dalam melawan
Belanda.
Cut Nyak telah menyakinkan Teuku Umar untuk kembali berjuang
bersama rakyat Aceh, Cut Nyak Dhien, sosok yang sangat beragama dan selalu
membujuk sang suami untuk tetap kembali berjuang untuk rakyat Aceh dan ini
dibuktikan setelah syahidnya sang suami, ia meeruskan perjuangan Teuku Umar
hingga tertangkap pada 4 Nopember 1905 dan dibuang ke Seumeudang dan meninggal
di pengasingan pada tahun 6 Nopember 1908.