Seni Pentas
Tradisional Bali
Seperti sudah diketahui oleh masyarakat di seluruh dunia
bahwa salah satu penunjang popularitas Bali adalah kesenian dalam arti luas.
Seni yg mengandung nilai estetik, bukan seni subyektif seperti yg banyak juga
dianut oleh seniman telah banyak dijadikan paket Travel Bali untuk Bali. Nilai estetika dalam pengertian
masyarkat Bali tradisional menygkut segala aspek kehidupan, bukan saja pada
bidang-bidang yg memang sudh tergolong ke dalam kegiatan berkesenian.
Satu contoh pegangan sebuah pisau pun dibuat menarik untuk
dilihat, pijakan kaki atau tanggapun dihias, sampai kepada pernik upacara
keagamaan. Pada kesempatan ini pengunjung akan diajak untuk melihat dari dekat
tentang kehidupan masyarakat Bali yg berkaitan degnan berkesenian.
Tentu di sini akan lebih ditekankan kpeada aspek berkesenian
yg lebih nyata atau yg sudh tergolong ke dalam kehidupan berkesenian khusus,
seperti seni pentas tradisional, seni ukir atau seni patung, seni bangunan, dan
seni musik tradisional.
Ngerebong,
tradisi unik dari kesiman.
Bali
memang menarik untuk dikunjungi. Selain memiliki pesona pemandangan alam, Pulau
Dewata juga kaya akan tradisi budaya dan adat istiadat. Tidak heran, karena
memang masyarakatnya masih berpegang teguh pada adat istiadat yang dijadikan
sebagai kearifan lokal. Salah satu tradisi yang menarik adalah Ngerebong yakni
sebuah tradisi unik di desa Pekriman, Kesiman Denpasar. Setidaknya setiap 8
hari setelah Hari Raya Kuningan yakni Redite Pon Wuku Medangsia menurut
penanggalan kalender Bali tradisi sakral ngerobong ini dilaksanakan.Ngerebong
sendiri berasal dari kata ngerebong yang artinya berkumpul. Masyarakat setempat
percaya bahwa pada hari ngerobong adalah hari dimana para dewa berkumpul. Pusat
dari tradisi ini dilakukan di Pura Petilan daerah Kesiman Denpasar. Biasanya
jalan-jalan akan ditutup penuh mengingat tradisi ini dianggap sakral. Sebelum
acara puncak dimulai biasanya masyarakat sudah memenuhi area acara dengan
adanya beberapa suguhan seperti alunan musik tradisional, bunga-bungaan dalam
tempayan cantik, serta penjor-penjor. Masyarakat mengawali upacara ini
dengan sembahyang di Pure tersebut. Suasana semakin riuh ditambah dengan adanya
acara adu ayam di wantilan (bangunan menyerupai bale-bale).Puncak acara dari
tradisi Ngerebong ini ditandai dengan penyisiran jalan oleh pecalang (polisi
adat setempat). Kemudian para pemedek keluar dari pura untuk melanjutkan
ritualnya dengan mengelilingi wantilan tempat adu ayam tadi sebanyak 3 kali
putaran. Pada saat mengitari wantilan beberapa pemedek akan mengalami
kesurupan/kerasukan dengan berteriak, menggeram, menangis sambil menari
diiringi alunan musik tradisional.
Selama kerasukan pemedek melakukan tindakan berbahaya
seperti menghujamkan keris pada dada, leher, bahkan ubun-ubun. Namun anehnya
tidak satupun pemedek yang berdarah akibat hujaman keris tadi. Ritual ini
dinamakan ngurek. Konon mengapa pemedek tadi tidak berdarah
meskipun telah dihujamkan keris berkali-kali adalah karena adanya kekuatan
magis dari roh yang menguasai tubuh pemedek. Selain para pemedek, ada juga
barong dan rangda yang ikut menari dalam ritual ini. ritual ini akan berakhir
saat matahari tenggelam. Roh-roh tadi dipulangkan kealamnya dengan menggiring
para pemedek ke dalam pura yang disana telah ada seorang Pemangku. Pemangku
tadi yang memiliki kuasa apakah roh tetap tinggal atau pergi. Kemudian setelah
roh-roh keluar dari jasad pemedek, dilanjutkan dengan tarian dewa yang menjadi
penutup tradisi ngerebong ini. Upacara Ngerebong itu sendiri bertujuan untuk
mengingatkan umat hindu melalui ritual sakral tadi untuk terus memelihara
keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia dan
manusia dengan alam. Tidak jelas asal-usul dari tradisi Ngerebongan ini, namun
masyarakat sekitar terus mempertahankan tradisi ini sebagai bagian dari
kehidupan mereka.
Bali
memang kaya akan tradisi, hal itulah yang membuat Pulau Dewata ini menjadi
menarik untuk dikunjungi. Tradisi Ngerebong ini pun tidak hanya tertutup untuk
masyarakat Bali saja, melainkan juga terbuka bagi masyarakat umum yang ingin
menyaksikan. Namun untuk bisa menikmati keunikan tradisi tersebut, Anda
diharuskan memakai pakaian tradisional khas Bali. Menarik bukan?
Ngaben adalah upacara Pitra Yadnya, rangkain upacara Ngaben salah satunya prosesi pembakaran mayat
yang bertujuan untuk menyucikan roh leluhur orang sudah meninggal. Tradisi ini
masih dilakukan secara turun-temurun oleh hampir semua masyarakat Hindu di
Bali. Menurut Agama Hindu terutama di Bali, tubuh manusia
terdiri dari badan halus dan badan kasar juga karma. Badan kasar terdiri dari 5
unsur yaitu zat padat, cair, panas, angin dan ruang hampa, lima elemen ini
disebut Panca Maha Bhuta, pada saat meninggal lima elemen ini akan menyatu
kembali ke asalnya, dan badan halus yang berupa roh yang meninggalkan badan
kasar akan disucikan pada saat upacara Ngaben. Dan karma/ hasil perbuatan yang
dilakukan selama hidup, akan selalu melekat dan akan berpengaruh kepada
kehidupan selanjutnya dan saat reinkarnasi.
Berikut
beberapa gambar yang diambil tanggal 28 Juli 2012 saat upacara Ngaben di Dadia Dalem Prajurit desa Culik, Abang, Kabupaten
Karangasem.
Kata Ngaben berasal dari kata beya yang artinya
bekal dan ngabu yang berarti abu, untuk membuat sesuatu menjadi abu diperlukan
api, dan dalam ajaran agama Hindhu yang mempunyai kekuatan sebagai dewa Api
adalah Brahma. Jadi upacara Ngaben sendiri adalah proses penyucian roh dengan
cara dibakar menggunakan api agar bisa dapat kembali ke sang pencipta, api
penjelmaan dari Dewa Brahma bisa membakar semua kekotoran yang melekat pada
jasad dan roh orang yang telah meningggal. upacara ngaben dianggap sebagai
simbolis pengantar atma/ jiwa ke alam pitra atau baka. Proses pengantaran atma
ke alam pitra merupakan prinsip utama yang slalu dituangkan melalui symbol
berupa upacara yang disebut Ngaben, proses ini merupakan prinsip pertama dalam
ontologi upacara ngaben.
Upacara
ngaben dilaksanakan beberapa hari setelah orang tersebut meninggal, upacara ini
bisa dilakukan secara perorangan, sesama satu keluarga besar, satu banjar
ataupun satu desa ini sesuai dengan tingkat kemampuan ekonomi seseorang, adat
dan tradisi desa
setempat di mana orang tersebut meninggal, sehingga tubuh orang yang meninggal
harus dikubur terkebih dahulu menunggu beberapa tahun berikutnya dan menentukan
hari baik yang telah ditentukan oleh Pendeta yang akan memimpin
upacara,.Upacara ini biasanya dilakukan dengan semarak, tidak ada isak tangis,
karena di Bali ada suatu keyakinan bahwa kita tidak boleh menangisi orang yang
telah meninggal karena itu dapat menghambat perjalanan sang arwah menuju
tempatnya.Selain memiliki tempat wisata yang
indah, Bali juga kaya dengan budaya
dan tradisi unik,
salah satunyamegibung, adalah merupakan salah satu tradisi
warisan leluhur, dimana merupakan tradisi makan bersama dalam satu wadah.
Selain makan bisa sampai puas tanpa rasa sungkan, megibung penuh nilai
kebersamaan, bisa sambil bertukar pikiran, bersenda gurau, bahkan bisa saling
mengenal atau lebih mempererat persahabatan sesama warga. Makan bersama atau
megibung ini, dalam setiap satu wadah terdiri dari 5-8 orang, memang merupakan
wujud kebersamaan tidak ada perbedaan antara laki dan perempuan juga perbedaan kasta
ataupun warna, semua duduk berbaur dan makan bersama, tapi pada
perkembangan berikutnya antara laki dan perempuan dipisahkan, tapi kalu masih
dalam satu keluarga ataupun tetangga, mereka memilih bergabung.Tradisi ini
masih tertanam kuat di daerah Karangasem Bali.
Tradisi
megibung ini dikenalkan
oleh Raja Karangasem yaitu I Gusti Agung Anglurah Ketut Karangasem sekitar
tahun 1614 Caka atau 1692 Masehi. Ketika pada saat itu, Karangasem dalam
ekspedisinya menaklukkan Raja-raja yang ada di tanah Lombok. Ketika istirahat
dari peperangan, raja menganjurkan semua prajuritnya untuk makan bersama dalam
posisi melingkar yang belakangan dikenal dengan nama Megibung. Bahkan, raja
sendiri konon ikut makan bersama dengan prajuritnya.
Megibung
dimulai dari masak masakan khas traditional Bali secara bersama-sama, baik itu
nasi maupun lauknya. Setelah selesai memasak, warga kemudian menyiapkan makanan
itu untuk disantap. Nasi putih diletakkan dalam satu wadah yang disebut
gibungan, sedangkan lauk dan sayur yang akan disantap disebut karangan. Tradisi
megibung ini dilangsungkan saat ada upacara adat dan Keagamaan di suatu tempat,
terutama di daerah Karangasem, misalnya dalam Upacara yadnya seperti
pernikahan, odalan di pura, ngaben, upacara tiga bulanan, dan hajatan lainnya.
Pada kegiatan ini biasanya yang punya acara memberikan undangan kepada kerabat
serta sanak saudaranya guna menyaksikan prosesi kegiatan upacara keagamaan
tersebut. Sehingga prosesi upacara dapat berlangsung seperti yang diharapkan.
Ada
beberapa etika yang perlu diperhatikan saat acara megibung, sebelum makan kita
harus cuci tangan terlebuh dahulu, tidak menjatuhkan remah/ sisa makanan dari
suapan , tidak mengambil makanan disebelah kita, jika salah satu sudah
merasa puas dan kenyang dilarang meninggalkan temannya, walaupun aturan ini
tidak tertulis tapi masih diikuti peserta makan megibung.
Di
Karangasem, makan megibung secara maraton pernah dilakukan ketika awal
pemerintahan Bupati Wayan Geredeg. Makan megibung yang dilakukan tanggal 26
Desember 2006 lalu ini digelar di Taman
Sukasada,Ujung dengan jumlah peserta tidak kurang dari 20.520 orang.
Karangasem memiliki beberapa tempat wisatadan juga tradisi unik, sehingga banyak
wisman yang menghabiskan waktu liburan di Ujung Timur Bali ini.
Istilah subak hanya dikenal di Bali, yang khusus
mengatur sistem pengairan sawah yang digunakan oleh para petani Bali dalam
bercocok tanam padi. Istilah ini sudah mulai dikenal dikalangan turis lokal
maupun mancanegara, walaupun dalam kunjungannya ke objek wisata, kebanyakan dari mereka hanya mengagumi pemandangan alam
dengan hamparan persawahan yang berundak (rice terrace) melihat petani saat
panen, jarang mengetahui secara detail, bagaimana proses pembibitan, proses
pembajakan, saat mulai bercocok tanam, sistem pengairannya, prosesi upacara
keagamaan di Pura Ulun Carik / Bedugul, sampai akhirnya mereka panen.
Jadi
hal lainnya yang menarik saat melihat panorama yang indah persawahan, juga wisata subak yang
memiliki nilai budaya yang
luhur. Karena hal yang menarik saat melihat hamparan persawahan, bukan sekedar
pemandangan sawah berundak yang indah dan menarik, tetapi bagaimana masyakarat
Bali dalam menjalani hidup bertani, ini akan menjadi pengalaman yang menarik
mengenai nilai historis yang ada dibalik panorama yang indah. Subak adalah
sebuah organisasi tradisonal masyarakat Bali yang merupakan warisan budaya
leluhur yang perlu dilestarikan, dengan perkembangan tekhnologi yang semakin
canggih, agar subak ini tidak kehilangan roh dan identitasnya.
Untuk
wisatawan yang liburan
di Bali, anda dapat menemukan wisata subak ini di Desa Soka,
kecamatan Selemadeg, Tabanan. Kemudian di desa Jatiluwih kecamatan Penebel, Tabanan. Kabupaten
Tabanan memiliki jumlah subak paling banyak dibandingkan dengan kabupaten
lainnya, memiliki lahan sawah yang paling luas di Bali, sehingga dijuluki
Lumbung Beras pulau Bali, sehingga di Tabanan didirikan museum Subak berlokasi di desa Sanggulan, Kecamatan
Kediri Kabupaten Tabanan, sekitar 20 Km dari arah barat kota Denpasar.
Memang
subak memiliki nilai budaya yang luar biasa, yang masih bisa ditunjukkan
bukti-buktinya sebagai kultur hidup yang diikuti oleh masyarakat adat di Bali,
sehingga kemudian pada tanggal 29 Juni 2012, Badan PBB untuk Pendidikan,
Keilmuan dan Budaya (UNESCO) di St.Petersburg, Rusia pada sidang ke-36
mengesahkan budaya Subak dari Bali sebagai bagian dari warisan dunia (World
Heritage)
Ada
banyak budaya dan tradisi unik warisan leluhur di Bali, dan beberapa ada di
Kabupaten karangasem sepertitradisi megibung, kain geringsing di Tenganan dan
yang satu ini adalah Gebug
Ende atau Gebug Seraya.
Seperti namanya tradisi ini berasal dari Desa Seraya, sedangkan Gebug berarti
memukul dengan sekuat tenaga dengan tongkat rotan (penyalin) sepanjang 1,5 – 2
meter dan Ende berarti tameng yang digunakan untuk menangkis pukulan. Gebug
Ende ini ada unsur seni, seperti seni tari yang dipadukan dengan ketangkasan
para penarinya memainkan tongkat dan tameng, dimana saat atraksi ini dilakukan,
diiringi dengan iringan musik gamelan, yang memacu semangat para penari untuk
saling memukul, menhindar dan menangkis. Desa Seraya terletak sekitar 15 km
dari objek wisata Candidasa, atau sekitar 2,5 jam perjalanan dengan kendaraan dari bandara Ngurah Rai.
Saat Gebug Ende berlangsung bukan hanya untuk
memperlihatkan ketangkasan saja, tapi ada nilai-nilai sakralnya yang
dikeramatkan penduduk setempat, tarian Gebug merupakan kesenian klasik yang
digelar setiap musim kemarau dengan tujuan untuk mengundang turunnya hujan,
ritual ini yang diyakini dapat menurunkan hujan, dimainkan oleh dua orang
lelaki baik dewasa maupun anak-anak yang sama-sama membawa ende dan penyalin.
Sebelum Gebug Ende berlangsung terlebih dahulu diadakan ritual dengan banten
atau sesaji, agar permohoanan terkabul. Setelah siap dua pemain yang dilakukan
oleh anak-anak maupun lelaki dewasa, denganpakaian adat Bali tanpa memakai baju, akan saling serang
yang dipimpin oleh wasit (saye), antara dua penari di tengah-tengah di batasi
oleh tongkat rotan. Sebelumnya wasit memberi petunjuk dan ketentuan daerah mana
saja yang bisa diserang.
Tradisi Gebug Ende merupakan warisan budaya
leluhur yang memang diyakini dapat menurunkan hujan. Menurut kepercayaan
setempat, hujan akan turun apabila pertandingan mampu memercikan darah. Semakin
banyak maka akan semakin cepat hujan akan turun. Tidak ada waktu tertentu dalam
permainan tersebut. Yang jelas permainan akan berakhir bila salah satu
permainan telah terdesak. Tidak ada kata dendam setelah itu. Tradisi ini memang
sudah cukup terkenal, kalau anda mau wisata di Bali dan
ingin menyaksikannya anda coba berkunjung ke daerah karangasem, belahan Timur
pulau Bali.
Mekare kare – perang pandan
Salah
satu desa Bali Aga yang masih mempertahankan pola hidup secara
tradisional ada di kabupaten paling Timur pulau Bali, yaitu Karangasem,
memiliki tradisi dan prosesi unik perang
pandan yang juga dikenal
dengan nama mekare-kare atau mageret
pandan. Tradisi ini dirayakan di Desa Tenganan Dauh Tukad, lokasinya
sekitar 10 km dari objek wisata Candidasa, 78 km dari Kota Denpasar, bisa ditempuh sekitar 90 menit dengankendaraan bermotor ke arah timur laut dari Ibu
Kota Bali.Sebelum prosesi perang pandan dimulai, warga Tenganan melakukan
ritual berkeliling desa.
Selain
tradisi unik perang pandan yang merupakan warisan budaya leluhur, Desa Tenganan mempunyai hasil karya seni yang sangat
cantik dan indah yaitu kain tenun gringsing yang proses pembuatanya sangat
rumit, dibuat dengan memakan waktu yang cukup lama dan warna alami dari tumbuhan.
Memang Tenganan sampai sekarang masih mempertahankan tradisi-tradisi yang
diwariskan, seperti tata cara kawin harus sesama warga setempat, besar, bentuk
dan letak bangunan serta pekarangan, juga letak pura dibuat dengan mengikuti
aturan adat yang secara turun-temurun dipertahankan, sehingga Tenganan akan
mejadi objek untuk pengembangandesa wisata.
Prosesi
perang pandan atau mekare-kare di Tenganan merupakan upacara persembahan untuk
menghormati para leluhur dan juga Dewa Indra yang merupakan Dewa Perang, yang
bertempur melawan Maya Denawa seorang raja keturunan raksasa yang sakti dan
sewenag-wenang, yang melarang rakyatnya menyembah Tuhan. Keyakinan beragama di
Tenganan berbeda dengan Agama Hindu lainnya
di bali, tidak mengenal kasta dan meyakini Dewa Indra sebagai dewa Perang dan
dewa dari segala Dewa. Untuk menhormati Dewa Indra mereka melakukan upacara
perang Pandan.
Upacara
perang pandan ini, memakai senjata pandan berduri yang perlambang sebuah gada
yang dipakai berperang, perang berhadapan satu lawan satu dan diikuti oleh para
lelaki baik itu anak-anak, dewasa maupun orang tua. Upacara perang pandan
dirayakan pada bulan ke 5 kalender bali, selama 2 hari, setiap pertarungan
berjalan singkat sekitar 1 menit dilakukan bergilir selama 3 jam, walaupun
akhirnya mereka sampai mengeluarkan darah karena tertancap duri pandan, setelah
perang usai mereka bersama-sama membantu satu dan lainnya mencabuti duri pandan
dan meberi obat berupa daun sirih dan kunyit, sama sekali tidak meninggalkan
kesan permusuhan.
Omed-omedan
Tradisi omed-omedan ataupun med-medan yang berarti
tarik-menarik dalam bahasa Indonesia, ini diikuti oleh pemuda dan pemudi yang
belum menikah, berumur antara 17-30 tahun, med-medan atau tarik-menarik diikuti
adegan berciuman antara satu pemuda dan pemudi.Tradisi ini memang tergolong
sangat unik dan membuat kita penasaran, prosesi ini hanya dirayakan sehari
setelah upacara Nyepi atau pada hari Ngembak Geni, tanggal 1
pada tahun Baru Caka kalender Bali, sekitar pukul
14.00 wita. Tradisi unik
ini dirayakan di desa Sesetan,
Denpasar Selatan, Denpasar. Prosesi
omed-omedan ini di mulai dari acara persembahyangan bersama, kemudian dibagi
menjadi 2 kelompok pemuda dan pemudi yang saling berhadapan, saling
tarik-menarik, berpelukan dan berciuman ditonton oleh ribuan warga, bagi yang
tidak berhasil mencium pasangannya dihadiahi siraman air sehingga menambah
keriuhan suasana. Jika anda sedang wisata ataupun liburan ke Bali, coba saja
saksikan tradisi unik ini, hanya sekitar 15 menit dengan kendaraan dari bandara.
Sesuatu
yang unik tentunya ada kisah yang melatarbelakanginya. Konon pada saat itu, ada
sebuah kerajaankecil
di wilayah Denpasar Selatan, namanya Puri Oka, digelar permainan med-medan atau
terik menarik antara pemuda dan pemudi, karena saking gembira dan serunya
permainan, acara tarik menarik berubah menjadi rangkul merangkul, sehingga
situasi menjadi gaduh. Raja yang kala itu sakit mendengar kebisingan ini
menjadi marah, dengan kondisi yang lemah raja keluar melihat warganya,namun
melihat adegan seperti ini, amarah raja hilang dan sakitnya hilang dan pulih
seperti sedia kala, maka dari itu raja mengeluarkan titah, agar upacara ini
dilaksanakan setiap tahunnya yaitu pada hari ngembak geni.
Di
tengah kehidupan Kota Denpasar yang sudah modern, tradisi unik warisan leluhur ini yang diwariskan
sekitar tahun 1900-an masih juga dirayakan sampai sekarang ini. Sesuai dengan
adat Timur yang masih memegang etika, tentunya tidak semua masyarakat Bali
bahkan warga Sesetan yang setuju dengan tradisi ini, tradisi ini pernah
dihentikan, namun Namun, tak lama kemudian, terjadi perkelahian 2 ekor babi di
pelataran Pura, yang amat seru dan anehnya keduanya
menghilang begitu saja di tengah perkelahian.Oleh warga setempat, peristiwa itu
dianggap sebagai pertanda buruk. Maka, omed-medan pun kembali dilangsungkan.
Kalau
kebetulan sedang wisata dan
berencana berkunjung melihat prosesi ini, datang lebih awal karena penonton
penuh sesak, cari tempat ketinggian, begitu juga jaga barang-barang yang tidak
anti air, karena rentan dengan cipratan air.
Mekotek
Gerebek
Mekotek atau lebih dikenal dengan Mekotek merupakan salah satu tradisi di Bali
yang hanya ada di desa Munggu,
kecamatan Mengwi, Kabupaten
Badung. Lokasinya tidak begitu jauh dari objek wisata Tanah Lot.Perayaannya tepat pada Hari Raya
Kuningan atau 10 hari setelah Hari Raya Galungan. Pelaksanaan upacaraMekotek pada walnya diselenggarakan untuk
menyambut armada perang kerajaan Mengwi yang melintas di daerah Munggu yang
akan berangkat ke medan laga, juga dirayakan untuk menyambut pasukan saat
mendapat kemenangan perang dengan kerajaan Blambangan di Pulau Jawa. Dulu pada
jaman kolonial Belanda tradisi ini pernah ditiadakan, tapi kemudian terjadi bencana,
tiba-tiba 11 orang meninggal di kalangan warga Munggu, kemudian melalui
perundingan yang alot dengan pihak kolonial, perayaan ini bisa kembali
dirayakan sampai sekarang ini.
Perayaan
mekotek ini dulunya menggunakan tombak dari besi, yang memberikan semangat
pasukan ke atau dari medan perang, namun seiring perubahan waktu dan untuk
menghindari peserta terluka, maka tombak diganti dengan tongkat dari pulet yang
sudah dikuliti yang panjangnya sekitar 2 – 3.5 meter. Perayaan di Hari raya
Kuningan, peserta berpakaian pakaian adat madya, berkumpul di Pura Dalem Munggu,
hampir seluruh warga yang terdiri 15 banjar dari umur 12 – 60 tahun ikut
merayakannya. Kemudian tongkat kayu diadu sehingga menimbulkan bunyi “tek tek” di kimpulkan sehingga membentuk sebuah
kerucut/ piramid, bagi yang punya nyali ataupun yang mungkin punya kaul naik
kepuncuk kumpulan tongkat kayu dan berdiri diatasnya seperti komando yang
memberikan semangat bagi pasukannya.
Hal
yang sama juga dilakukan oleh kelompok yang lain, membentuk tongkat seperti
kerucut dan nantinya akan dipertemukan antara satu dengan yang lainnya. Komando
yang berdiri diatas kumpulan tongkat akan memebri komando layaknya panglima
perang dan menabrakkanya dengan kelompok lain, dengan diiring sebuah gamelan
sehingga memacu semangat peserta upacara. Walupun sedikit membahayakan tepi
memang cukup menyenangkan, tidak jarang yang terjatuh tidak bisa sampai puncak,
tapi semua gembira, senang, tidak ada amarah, inti lain yang dapat dipetik dari
tradisi Grebek Mekotek atau perang kayu, perang tak selalu menyebabkan
permusuhan dan korban jiwa. Keunikan tradisi sering dijadikan tontonan wisata oleh
wisaman yang kebetulan liburan di Bali.
Tradisi Perang Ketupat di Bali
Satu
lagi tradisi unik di Bali yaitu Perang Ketupat yang
dirayakan satu tahun sekali di desa Kapal, Kabupaten Badung. Tujuan diadakan
prosesi ini sebagai wujud terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil
panen dan untuk doa keselamatan dan memohon kesejahteraan bagi umat manusia.
Lama prosesi perang ketupat atau Aci Rah Penganngon ini sekitar 30 menit di
jalan raya, sehingga arus lalu lintas sementara dalam waktui 30 menit ditutup,
upacara diikuti oleh warga desa kapal. Tradisi ini memnag unik sehingga banyak
disaksikan wisatawan.
Ada
tradisi yang sama mengenai perang ketupat ini di wilayah Indonesia di luar
pulau Bali. Tradisi perang ketupat ini dirayakan di Tempilang, Bangka Barat,
Bangka Belitung, tujuan dari tradisi tersebut menggambarkan perang terhadap
makhluk-makhluk halus yang jahat, yang sering mengganggu kehidupan masyarakat.
Tujuannya berbeda dengan yang di Bali, warisan budaya leluhur ini memang masih
dirayakan secara turun-temurun. Tradisi di Bali ini menjadi tontonan unik bagi
para pelancong yang kebetulan dalan perjalanan wisata tour.
Sebelum
prosesi ini digelar, peserta yang hanya melibatkan kaum pria ini melakukan
persembahyangan bersama. Seperti namanya perang ketupat, tentu peluru yang
digunakan adalah sebuah ketupat, yang dikumpulkan dari warga kapal, dan warga
dipisah menjadi 2 kelompok yang nantinya saling serang dengan ketupat, saat
perang dimulai semua saling serang satu-sama lainnya. Dan setelah perang
ketupat usai, mereka saling berjabat tangan, bercerita satu sama yang lain,
tidak ada permusuhan diantara mereka, hanya berupa ungkapan syukur atas karunia
yang mereka peroleh
Tradisi Upacara Bukakak
Upacara
Bukakak, salah satu budaya
dan tradisi unik yang
hanya ada di Bali Utara, tepatnya di desa
Adat Sangsit, Kecamatan Sawan, Buleleng. Begitu banyaknya budaya warisa
leluhur yang masih terjaga dengan baik di Bali. Tujuan dari Upacara Bukakak ini
untuk melakukan permohonan kepada Sanghyang Widhi Wasa dalam manifestasinya
sebagai Dewi Kesuburan agar diberikan kesuburan kepada tanah-tanah pertanian
mereka supaya hasil panennya berlimpah ruah. Tradisi ini hanya dilakukan di
daerah Singaraja, jika kebetulan anda sedang wisata di Bali dan melakukan
perjalanan tour ke daerah Bali Utara seperti Lovina anda
bisa menyaksikan prosesi upacara ini pada bulan
April kalender Jawa atau
bulan punama sasih kedasa menurut kalender Bali.
Pengertian
bukakak adalah babi
guling yang dibikin matang hanya bagian dada saja, upacara ini sudah dilakukan
sejak zaman dahulu dan masih terperihara hinggga sekarang, pada mulanya upacara
ini dilakukan 1 tahun sekali, namun karena terkendala biaya, akhirnya
upacara ini dilakukan setiap 2 tahun sekali. Prosesi ini mengarak bukakak
dengan segala perlengkapan upacaranya diiringi dengan gamelan Tik Nong, yang
diyakini tempat berstana dewi kesuburan, perjalanan arak-arakan ini lumayan
jauh, mengelilingi persawahan, dan kemudian menuju sebuah Pura desa
tempat berstana Dewi Sri/ dewi kesuburan. Pengusung bukakak sendiri dibagi
menjadi 2 kelompok, untuk pengusung bukakak harus sudah dewasa/ menikah dan
pengusung sarat alit para remaja. Keanehan muncul saat upacara bukakak
berlangsung, setelah diperciki air suci para pengusung bukakak seperti dirasuki
kekuatan yang melebihi kekuatan manusia normal, para pengusung bukakak ini mengaum,
sepertinya kemasukan roh dan tidak lazim.
Persiapan
yang dilakukan dalam upacara Ngusaba Bukakak ini,
·
Pembersihan upacara perlengkapan
·
Membuat Dangsil bersegi empat, dari
pohon pinang, dengan rangkaian bambu dihiasi dengan daun enau tua dirangkai
dengan bambu, dihiasi daun enau tua, dibuat bertingkat yang melambangkan Tri
Murti (Dewa Brahma, Wisnu dan Siwa)
·
Mengadakan upacara Ngusaba di pura yang
terdapat di desa setempat
·
Upacara Gedenin di pura Subak.
Upacara Ngedeblag
Tradisi upacara Ngedeblag hanya dilakukan di desa Pekraman
Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Gianyar.
Prosesi ini dirayakan di setiap Hari Kajeng Kliwon menjelang peralihan sasih
kelima dan sasih keenam (kalender Bali) yang digelar sekali dalam setahun,
tujuannya untuk mengatisipasi perubahan musim yang akan datang sehingga
terhindar dari segala bencana, seperti longsor, banjir maupun penyakit dan
diberkahi keselamatan. Upacara ini dilakukan secara tutun temurun oleh warga
Kemenuh.
Upacara
ini tergolong unik, ratusan warga yang terdiri dari anak-anak, remaja dan
dewasa, bergerombol dengan hiasan yang menyeramkan atau penampilan wajah yang
dicoret-coret sepert komedian. Mereka berjalan keliling desa sambil membawa air
suci (memundut tirta), dengan mengarak sepasang barong sakral, sambil
membunyikan gamelan, kentongan, ataupun perabotan rumah tangga, daun pohon
enau, untuk kemudian menggelar arak-arakan keliling desa. Setiap melewati ujung
desa sepasang barong tersebut diupacarai.
Juga
disetiap persimpangan jalan, para ibu menyambut kedatangan arak-arakan dengan
sesajen, menghaturkan puja-puja untuk pembersihan alam, menetralisir roh-roh
negatif. Karena mereka yakin dunia ini telah kotor oleh ulah manusia, sehingga
perlu dibersihkan.
Ritual Agung Briyang
Ritual
Agung Briyang di rayakan
setiap 3 tahun sekali pada purnamaning sasih kedasa kalender Hindu Bali,
perayaan ini hanya ada di desa tua Sidetapa, kabupaten Buleleng,
lokasi desa ini sekitar 40 km barat laut kota Singaraja. Tujuan mengadakan
upacara Agung Briyang adalah untuk melawan dan mengusir roh-roh jahat. Peserta
ritual ini adalah laki-laki warga Sidetapa yang menggunakan busana khas
tradisional Bali terbaik. Tradisi unik unik ini masih turun-temurun oleh warga
setempat, pernah suatu hari semestinya ritual ini harus dirayakan, tidak
dilakukan maka terjadi banyak bencana yang terjadi.
Ritual
Agung Briyang dilakukan
di tengah halaman Pura Agung Candi, laki-laki berdiri di depan api, dan
membersihkan aneka senjata yang mereka bawa seperti, keris, pedang, tombak, dll
dan untuk mengusir dan melawan roh-roh jahat. Antusiasme warga sangat tinggi
dalam mengukuti upacara ini yang tergolong langka, perempuan membawa
persembahan yang warna-warni di atas kepala, ayah dan anak-anak membawa
perlengkapan lain dalam prosesi ini, perayaan Agung Briyang atau juga disebut
Karya Odalan ulang Ngerebeg candi tujuannya untuk memohon keselamatan kepada
Ida Sang Hyang Widi Wasa, menyambut para dewa, dan melawan roh-roh jahat
Sebelum
puncak Agung Briyang dilaksanakan, warga desa melakukan prosesi melasti ke
sungai yang ada di desa Sidetapa, melibatkan ratusan masyarakat, peserta menari
dan ada sampai kerauhan (trans), dilanjutkan dengan ritual sesayutan untuk
menyambut para Dewa. Dan sehari setelah ritual puncak dilaksanakan, warga
laki-laki berburu kijang/ rusa untuk keperluan upacara berikutnya, berburu
kijang dikawasan ini tidaklah mudah, karena semakin sempitnya lahan hutan yang
sudah dijadikan lahan pemukiman penduduk, namun setiap akan diadakan ritual
ini, pasti bisa ada saja rusa yang bisa ditemukan.
Bali
memang memiliki banyak tradisi yang cukup unik, sehingga selain objek wisata yang
indah budaya dan tradisi ini sangat diminati oleh wisatawan.
Ngelawang di antara Galungan dan
Kuningan
Tradisi
ngelawang atau merupakan
salah satu ritual tolak bala bagi umat Hindu di Bali. Ngelawang ini dilakukan
setiap 6 bulan sekali di antara Hari Raya Galungan dan Kuningan. Seperti namanya
Ngelawang yang artinya lawang (pintu), yang berarti juga pementasan dilakukan
dari rumah ke rumah maupun dari desa ke desa, pasar, bahkan di tengah-tengah
jalan, digelar dengan menggunakan barong bangkung
yaitu barong berupa sosok babi (bangkal) diiringi dengan gamelan bebarongan
ataupun gamelan betel, tujuan dilakukan tradisi ini untuk mengusir roh-roh
jahat dan melindungi penduduk dari wabah/ penyakit yang diakibatkan oleh
roh-roh (bhuta kala) tersebut.
Ngelawang berasal dari mitologi seorang Dewi
Cantik bernama Ulun Danu berubah wujud menjadi seorang raksasa yang berhati
baik dan membantu penduduk desa melakukan pengusiran roh jahat dan membagikan
tirtha amertha. Pada mulanya ritual ini adalah ritual sakral dan magis,
benda-benda keramat dan sakral seperti barong dan rangda diusung mengelilingi
desa ataupun banjar dengan tujuan melindungi penduduk secara niskala, kemudian
bulu-bulu yang tercecer dari rangda maupun barong ini akan dipingut oleh warga
dan dengan penuh keyakinan menjadikannya sebuah benda yang bertuah. Namun
sekarang dalam perjalannya, karena kreatifitas masyarakat Bali, benda-benda
sakral tersebut dibuatkan tiruannya dan digelar ngelawang tontonan seperti
banyak dipentaskan oleh anak-anak, kemudian mereka dibayar sekedarnya sebagai
ucapan terima kasih.
Budaya
dan tradisi ini
merupakan warisan dari leluhur dari jaman dahulu dan sampai kini, memiliki
nilai seni dan sakral, walaupun mengalami sedikit pergeseran. Di daerah wisata, tradisi ngelawang ini menjadi tontonan
menarik bagi wisatawan, mereka mengapresiasi kreativitas anak-anak yang
mewarisi kebudayaan leluhurnya, mudah-mudahan budaya dan tradisi ini tidak
tergilas dengan berbagai transisi jaman yang semakin maju, dan tujuan
pementasan tidak bergeser untuk hanya sekedar mengais rejeki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar